http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Thursday, October 10, 2013

Disiplin Sebagai Contoh Perilaku Nasionalistik

Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng.

Orang sering mengatakan bahwa lalu lintas di berbagai kota di sebuah negara merupakan cermin yang sangat gamblang untuk melihat kondisi bangsa dari negara tersebut. Kesemrawutan lalu lintas, terutama di kota - kota besar di Indonesia, telah banyak menjadi keluhan tentang kondisi kedisiplinan berlalu lintas di Indonesia. Kesalahan sering ditujukan pada tidak sebandingnya pertumbuhan infra struktur jalan dengan jumlah kendaraan di jalan.
Kondisi berlalu lintas, hanyalah merupakan salah satu aspek untuk memperlihatkan "maturitas" kondisi kebangsaan. Keluhan di atas muncul di berbagai aspek kehidupan yang lain misalnya antrean tiket KA menjelang lebaran atau pertandigan sepak bola, kericuhan yang diikuti dengan kekerasan, perilaku koruptif, dan lain sebagainya. 

Sejarah menunjukkan perkembangan negara-negara maju, yang semula tidak pernah diperkirakan, kemudian muncul dan bangkit menjadi negara macan dunia. Australia, New Zealand, Canada, Swiss adalah negara - negara yang 150 tahun yang lalu tidak seterkenal negara-negara "jalur sutera". Bahkan, sumberdaya dan kekayaan alam pun di beberapa negara-negara macan dunia itu hampir bisa dikatakan tidak dipunyai. Mengapa negara-negara tersebut bisa bangkit sebagai macan dunia?

Salah satu aspek kehidupan yang diakui menjadi salah satu faktor penting adalah disiplin. Disiplin diri menurut Wikipedia merupakan perilaku seseorang untuk melakukan sesuatu karena aturan atau kesepakatan tidak boleh dilakukan, walaupun orang tersebut lebih senang melakukan hal yang lain. Secara etimologi, disiplin berasal dari bahasa Latin disibel yang berarti "pengikut". Seiring dengan perkembangan zaman, kata tersebut mengalami perubahan menjadi disipline yang artinya kepatuhan atau yang menyangkut tata tertib. Sebagai contoh, seseorang mungkin saja tidak melakukan sesuatu yang menurutnya memuaskan dan menyenangkan dengan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang ia inginkan dan menyumbangkan uang tersebut kepada organisasi amal dengan anggapan bahwa hal tersebut lebih penting.

Salah satu kedisiplinan diri yang sangat menyentuh ditunjukkan oleh bangsa Jepang di daerah Sendai saat  terjadi tsunami. Saat itu tim penyelamat dari Kedutaan Besar Indonesia sedang berkendara mobil dari Tokyo menuju Sendai untuk membantu tugas penyelamatan korban tsunami. Mobil yang dikendarai sudah mulai kehabisan bahan bakar. Setiap stasiun BBM yang ditemui mendekati daerah bencana selalu saja dipenuhi antrean yang sangat panjang lebih dari 1 km. Di stasiun BBM terakhir, petugas dari KBRI memutuskan untuk ikut antre. Jika tidak dilakukan maka perjalanan akan terhambat. Petugas BBM selalu memonitor agar antrean tetap berjalan tertib dan memastikan bahwa cadangan BBM terpenuhi untuk setiap kendaraan ikut dalam antrean.

Saat petugas BBM melihat tim dari KBRI untuk penyelamatan korban tsunami, mereka mendekat dan mengarahkan kendaraan untuk mendahului antrean sambil memohon maaf agar Tim Penyelamat dari KBRI diberi kesempatan. Dalam salah satu laporan di sebuah surat kabar Indonesia, disebutkan bahwa orang-orang yang mengantre tidak menjadi marah. Mereka justru memberi kesempatan kendaraan Tim Penyelamat Indonesia untuk mendapatkan BBM yang cukup, tidak timbul keresahan dan tidak satu ucapan keluhan yang muncul. Justru ketika Tim Penyelamat Indonesia tersebut meninggalkan stasiun BBM setelah mendapatkan jatah yang cukup, petugas dan yang antre mengucapkan terima kasih. Kenyataan ini membuat salah satu anggota tim mencucurkan airmatanya sambil berbisik: "Bisakah itu terjadi di Indonesia?" Seorang wartawan mencatat hal tersebut dan melaporkan bahwa orang - orang Jepang betapa pun beratnya kondisi yang dihadapinya saat bencana tejadi mereka masih berterima kasih bahwa ternyata Indonesia telah membantu melalui Tim Penyelamat tersebut.


Kedisiplinan sering dikaitkan dengan kedewasaan. Kedewasaan diri sendiri dan kedewasaan sebagai warga bangsa. Kedisiplinan tidak bisa diperoleh tanpa berlatih. Kondisi terbaik dari pelatihan kedisiplinan adalah di rumah. Namun demikian, betapa pun baiknya kedisiplinan di rumah dilatih, tetapi contoh perilaku warga bangsa di dalam kehidupan riil menjadi rujukan riil dan praktis bagi generasi penerus. Oleh karenanya, jika kedisiplinan tersebut dapat diberlakukan dengan baik dan konsisten di rumah, sekolah dan  masyarakat, di perkantoran pemda, perusahaan, DPR, Kementerian, dan dijalanan, maka pertumbuhan Indonesia yang sudah bagus dalam dua tahun terakhir ini, akan memberikan kontribusi yang mempercepat bagi kebangkitan Indonesia menjelang 2020 nanti. Semoga.


CLOUD COMPUTING AND DISASTER INFORMATION MANAGEMENT IN INDONESIA

Dr. Andi E. Sakya, 
Director General of Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics, Indonesia, writes about data integration challenges faced by the agency and how cloud computing could be a possible solution.

The Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics (in bahasa Indonesia, BMKG) collects data on weather, climate and earthquakes from more than 200 observation stations all over Indonesia. Weather, climate and earthquake data is dependent on geographic position, is time sensitive, and often relates to global phenomena. Effective collection of this data enables BMKG to provide weather, climate, earthquake and tsunami information services to Indonesian government departments, businesses and citizens.
In addition to these above main functions, recently BMKG has been appointed by UNESCO as one of the Regional Tsunami Service Providers together with India and Australia, and also appointed by World Meteorological Organisation as a Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC).
Integrating multiple datasets
To give an example of the volume of data that BMKG processes - every two hours each of the 200 observation stations transmits raw data through telecommunication system to the headquarters in Jakarta. At the headquarters the data was stored in the database, and then integrated and processed with the data from the other observational stations and combined with data from other observation equipment such as satellite, radar, and automatic weather stations to produce weather and climate predictions.

Both daily operational as well as international assignments require BMKG to work 24 hours a day, seven days a week. As required by law, the information we create has to be disseminated quickly, accurately, broadly, and comprehensibly.
The 2004 tsunami highlighted both the importance of the information created by BMKG, and also the necessity of getting this information into the hands of policy makers quickly. Back then it took more than an hour to share earthquake data, but since the Indonesian Tsunami Early Warning System (InaTEWS) was set up in 2008 it now takes less than five minutes. By 2015, further improvements to data transmission, storage, and integration are anticipated with the Integrated Support for Early Warning Systems.
Addressing challenges with cloud computing
Our challenge in establishing such an integrated data centre lies in the fact that the time periods of measurement for weather, climate, earthquakes and tsunamis are quite different - a tsunami’s period of occurrence is around 200 years, whereas seasonal climate is about 30 years and weather is measured every two hours. Therefore, we need to be able to handle historical datasets and new data simultaneously.

Moreover, being located on the Ring of Fire, Indonesia is prone to multiple forms of natural disasters, with tsunamis occurring once every two years. Currently, we have two data recovery centres in Denpasar, Bali, one each for the TCWC and InaTEWS.
Cloud computing technology seems to pose an interesting solution to the problems above. It provides an elastic and affordable repository for data integration, while its distributive nature overcomes Indonesia’s limitations of geography.
From the operational point of view, cloud computing allows multiple users to easily feed in data in real-time. Furthermore, interoperability of cloud computing facilitates the various types of existing systems to operate together.
On the other end, it also widens possibilities and provides mobility to our information delivery channels. The information we collect is made available to the public directly through our website and through social media. Indonesia being an archipelago of 17,000 islands, it is crucial that citizens can access the information from any location, at any time and from any kind of device that they use.
Since our agency operates 24/7, implementation of the new cloud-based system without distracting our daily operation is important, and a major challenge that remains to be solved.


NYEPI, KOTO TABANG dan PERUBAHAN IKLIM

Andi Eka Sakya

Di dalam laporan mereka yang keempat, The lntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan keniscayaan pemanasan global yang telah mendorong teriadinya perubahan iklim. Sebab utamanya ialah naiknya konsentrasi gas rumah kaca yang diproduksi manusia, baik secara industri maupun kegiatan lainnya, tidak mampu lagi diserap alam secara seimbang. 
Betapa pun, pemanasan global perlu memperhatikan dua parameter, yaitu kenaikan suhu dan konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di atmosfer. Tentang suhu permukaan ini, IPCC telah menegaskan agar manusia menjaga  jangan sampai kenaikan suhu permukaan melebihi 8 derajat. Untuk konsentrasi GRK harus dijaga agar kenaikannya tidak melebihi 450 ppm sejak masa awal zaman industrialisasi. Mengapa demikian? Secara khusus, Morrigan (2010) menyebutkan bahwa pada saat konsentrasi terukur CO2 ambien di atmosfer mencapai melebihi 450 ppm, bumi manusia akan terdorong pada ambang batas kemampuan dinamikanya untuk menahan bencana yang maha dahsyat dan di luar kapasitas manusia untuk menghadapinya. Planet bumi mencapai kondisi ice-free planet. 
Repotnya, jika suhu permukaan bisa secara lanngsung dan mudah dapat diamati dan diukur secara langsung, konsentrasi GRK tidak. Oleh karenanya, kenaikan suhu permukaan itu juga sudah sering dilaporkan. Di lain pihak kenaikan lonsentrasi GRK tidak banyak diamati diukur dan dilaporkan. Itu karena konsentrasi GRK atau CO2 di atmosfer tidak mudah diukur, persyaratan pengukurannya pun sangat strict. GRK yang diukur dalam kondisi ambien dan merupakan konsentrasi CO2 yang telah sangat lama terdapat di dalam almosfer
dan bercampur dengan gas - gas  di atmosfer lainnva. Untuk itu, diperlukan lokasi yang jauh dari hiruk pikuk pengaruh kegiatan manusia, dan proses analisis pembandingan yang rumit. 
Di dunia, paling tidak terdapat 29 stasiun pemantau global yang salah satu tugasnya mengukur konsentrasi CO2 ambien di atmosfir. Salah satunya terdapat di Bukit Koto Tabang, Bukittinggi, Sumatra Barat.  Untuk menjembatani keterbatasan data tersebut IPCC sering melakukan pendekatan secara modeling, asumsi, prakiraan, dan proyeksi. 

Pengaruh Manusia 

Nyepi adalah hari raya umat Hindu untuk menandai tahun baru Saka. Pada saat itu umat Hindu di Bali tidak
diperkenankan melakukan aktivitas apapun selama 24 jam. Bahkan, bandara pun ditutup selama 24 jam. Bali saat itu menjadi medan tanpa aktivitas, lahan tanpa manusia, atmosfer murni tanpa pengaruh anthropogenic. Bali saat Nyepi dan Bali saat hari hari biasa--dalam perspektif pemanasan global dan gas rumah kaca--merupakan gambaran kontras antara menghilangnya pengaruh aktivitas manusia dan situasi yang terpengaruh oleh kegiatan anthropogenic. 
Pengamatan GRK di Bali (beberapa kota) pada saat Nyepi, dan perbandingannya dengan Bali pada hari - hari biasa, akan menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap alam dan kontribusinya pada pertumbuhan gas rumah kaca, terutama CO2. Kondisi itu oleh BMKG telah dimanfaatkan untuk membuktikan bahwa pengamatan secara langsung pada saat Nyepi dan bukan Nyepi. Hasilnya menunjukkan pengaruh  anthropogenic pada kenaikan konsentrasi GRK mencapai 33%. 
Bukit Koto Tabang adalah noktah kecil di Sumatera Barat (Kabupaten Agam) tepat di garis khatulistiwa. Hutan petai yang rimbun telah menyembunyikan noktah kecil itu dari pengaruh aktivitas manusia. Sepi. Sunyi.
Entah wangsit apa yang menjadikan Emil Salim (saat menjadi menteri lingkungan hidup) dan Azwar Anas (menteri perhubungan) pada 1996 memilih Bukit Koto Tabang untuk lokasi pengamatan GRK. Pilihan itu tidak salah, manakala pada tahun 2007 perhatian tentang pemanasan global dan dampaknya pada perubahan iklim semakin menjadi keniscayaan, dan perhatian dunia dan laporan IPCC telah mengantar pada diperolehnya Hadiah Nobel. 
Pertumbuhan Kota Padang dan Bukittinggi ternyata juga tidak menjadikan Bukit Koto Tabang lokasi wisata yang menarik. Rerimbunan pohon petai menyembunyikan silent activity para pengamat GRK dari gerak ekonomi Bukittinggi dan PAdang. Kondisi itu menjadikan Koto Tabang merupakan lokasi yang ideal untuk pengukuran GRK. Lebih - lebih posisinya tepat di khatulistiwa, sehingga Koto Tabang sangat unik. 
Keputusan 1996 untuk menetapkan Koto Tabang sebagai satu - satunya lokasi global atmospheric watch (stasiun pemantau global/GAW) di Indonesia dan salah satu dari 29 GAW yang di dunia, telah menarik perhatian dunia. Hasil - hasil pengamatan GAW di Koto Tabang --yang praktis secara aktif dioperasikan oleh BMKG baru sejak 2004 dan dikirimkan ke Badan Meteorologi Dunia melalui Pusat Data Dunia untuk GRK di Jepang-- ternyata sangat diapresiasi. 
Bukan hanya karena datanya sangat akurat, tetapi juga kontinuitasnya hingga saat ini. Itu terlihat dari hasil pengamatan konsentrasi GRK ambien di Koto Tabang di bawah hasil pengamatan GRK di Mauna Loa, Hawaii, sejak 2004 hingga 2013. Itu menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan negara pemboros emisi. Namun, tidak berarti Indonesia tidak mengalami pengaruh perubahan iklim karena perubahan iklim merupakan fenomena global. Peran aktif Indonesia dalam proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diperlukan. Hal itu juga disadari bahwa Indonesia termasuk wilayah terdampak negatif dan menderita akibat perubahan iklim. 
Presiden Yudhoyono pada 2009 saat berpidato di COP di Kopenhagen mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara terdepan dalam menginisiasi aksi penurunan konsentrasi GRK dan menargetkan turun 26% hingga 2020 dalam kondisi business as usual. Niat itu didukung Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Jika saat ini Presiden menanyakan sudah seberapa jauh niat penurunan emisi GRK tersebut kita capai, data Koto Tabang dapat menjawabnya secara faktual, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Insya Allah


Media Indonesia Sabtu / 2l September 2013 / hal.8 




Sunday, October 23, 2011

Capacity Development : Supporting Disaster Mitigation Activity in Indonesia

Capacity Development : Supporting Disaster Mitigation Activity in Indonesia
Andi Eka Sakya

ABSTRACT

Indonesian's position is very unique. Indonesia is flanked by two continents and two oceans. As one of the biggest archipelagic countries in the world, it consist of more than 17000 islands lies across approximately 6000 km width from east to west and full of volcanic mountain often called ring of fire. That situation, added by the influence of meridional and zonal circulation, affects the complexities of the climate variation in Indonesia. Furthermore, the interaction between the Indian Ocean and te African one, so-called dipole mode, impinges on the weather at western side of the country. In the eastern part, the ENSO phenomenon, frequently induce weather anomaly especially extreme drought.
In addition to that, Indonesia lies on the three dynamic faults so-called Eurasia, Pacific and Indo-Australia plates, which move approaching each other with different speed of dilatation. This alone poses a potent and vulnerable position of Indonesia to the earthquake. Depending on the movement of the plate, because almost of the plate position is within the sea area, the sub-ducted movement often causes tsunami.
Those above condition lay the foundation of the Indonesian's vulnerability to disaster, not only because of weather or climate anomaly but also because of earthquake, tsunami as well as volcanoes. Those disasters easily originate damage and live lost, especially when people do not aware of the cause as to how disaster could happen. The awareness of the incident can lead to the early warning and can also reduce the damages as well as the victims.
This paper reports the activity encompasses the country's resource capability addresses the crucial question on disaster mitigation. It covers human resource development technologically, institutionally as well as organizationally. The ultimate objective is to discuss the steps that have been undertaken related to capacity development with regard to the disaster mitigation.
This paper outlines briefly the type of disasters that potentially occur, followed by the basic approach ion management development on the disaster mitigation. Activities that have been conducted at other institutions be it individually or in coordinated term, is also explained.

Keywords : Disaster prone, Tsunami, Meteorology, Earthquake, Early warning, Capacity building.

(Natural Disasters: Policy Issues and Mitigation Strategies. 2011. Daya Publishing House : New Delhi, India.)

Friday, October 21, 2011

Natural Disasters

NATURAL DISASTERS
POLICY ISSUES AND MITIGATION STRATEGIES



A disaster can be a natural or a man-made hazard that results in large scale physical destruction, human suffering and loss of life. It can be a tragic event resulting from events such as tsunami, earthquakes, floods, catastrophic accidents, fires, explosions, etc. In general, developing countries suffer the most when a disaster hits, primarily because of the lack of management and unpreparedness to meet such eventualities as compared to the developed countries. The capabilities for risk assessment, forecasting, monitoring and early warning systems, emergency management, prevention strategies, improving awareness, political will and a need to involve the professionals, scientific bodies and public-private partnerships are some of the key elements that need urgent attention particularly in the context of the developing countries. In this direction, the strategic thinking is required to unfold scenarios before they really occur so that the road map to human safety could be updated, game plan could be revised and strategic sense could be sharpened to fight natural disasters. It is essential to build joint programmes and win-win partnerships on natural disasters management among the developing countries to prevent human sufferings and the loss of life, to the maximum extent.

The present publication is a follow up of the international roundtable on 'Lessons from Natural Disasters, Policy Issues and Mitigation Strategies' organized at Vellore, India during 8-12 January 2007, by the NAM S&T Centre and the Centre for Disaster Mitigation & Management (CDMM) of the VIT University. It includes 16 research papers including country status reports from 12 developing countries of Asian, African and Latin American regions. The book presents significant insights on various kinds of natural disasters and concerned management strategies for the developing countries and is expected to be of great value for the researchers and professional engaged with the disaster management issues.

Thursday, October 6, 2011

Analisis Trajectory Polutan di Semarang Serta Validasi Model Dispersi Polutan di Jakarta

Buruknya kualitas udara perkotaan tidak hanya disebabkan oleh sumber polutan yang besar, namun sangat dipengaruhi oleh minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya udara sehat.
Kurangnya informasi mengenai transport dan dispersi polutan di daerah turut memberikan andil dalam peningkatan polusi udara akibat pemanfaatan tata ruang yang tidak terarah, baik untuk penempatan lokasi industri maupun pemukiman penduduk. Dengan demikian, risiko bahaya pencemaran udara di suatu wilayah dapat dicegah sedini mungkin.
Tujuan dari kegiatan Analisis Trajectory Polutan di Semarang serta Validasi Model Dispersi Polutan di Jakarta adalah untuk mengidentifikasi polutan akibat kegiatan-kegiatan yang melepaskan emisi polutan, khususnya kegiatan industri di Semarang dan memetakan arah penyebaran polutan serta kegiatan validasi output model dispersi polutan di wilayah Jakarta.
...

Pengembangan Rekayasa Transmitter, Radiosonde, Seismograf dan AWS

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga Laporan Kegiatan Pengembangan Rekayasa Transmitter, Radiosonde, Seismograf dan AWS, dimana pada tahun anggaran 2007 ini mengkhususkan pada rekayasa Automatic Weather Station.
Dengan telah tersusunnya Laporan Kegiatan Pengembangan Rekayasa Transmitter, Radiosonde, Seismograf dan AWS tahun 2007 ini maka kami menyampaikan terima kasih kepada Kepala BMG, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG, Sekretaris Utama serta seluruh pejabat Badan Meteorologi dan Geofisika yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini atas bantuan yang diberikan sehingga pelaksanaan Pengembangan Perekayasaan AWS ini dapat berhasil dengan baik meskipun masih ditemui beberapa kekurangan selama kegiatan berlangsung. Kami juga menyampaikan terimakasih kepada tim kegiatan Pengembangan Rekayasa Transmitter, Radiosonde, Seismograf dan AWS tahun 2007 yang telah bekerja secara maksimal dalam pelaksanaan kegiatan selama tahun 2007.
...