oleh : Andi Eka Sakya
Kita bersyukur bahwa 70% permukaan bumi berisi air. Kalau
tidak, niscaya kenaikan suhu muka bumi akan lebih dahsyat dibanding yang
sekarang terjadi. Lautan yang luas dan dalam ini menyerap lebih dari 90% panas
di atmosfer. Di dalam lautan, panas itu tidak diam begitu saja. Perbedaan panas
yang terjadi serta gravitasi antarlokasi mendorong panas tersebut bergerak dari
satu wilayah ke wilayah lainnya.
Alur jelajah panas ini dari kedalaman menuju ke permukaan. Di
permukaan, selain panas ini mengubah air permukaan menjadi uap, juga bergerak
sesuai dengan arah gerak angin permukaan. Mekanisme ini terus berjalan,
bergantung dari tingginya suhu permukaan, demikian pula jumlah besarnya uap air
yang dilepaskan oleh lautan yang demikian luasnya.
Ketidak-merataan pancaran sinar matahari, lokasi, topografi
dan juga gravitasi "mengatur" iklim di berbagai wilayah di dunia.
Mekanisme pelepasan panas dari laut ke permukaan dalam bentuk uap air tersebut,
tampaknya tidak seperti zero sum game. Sisa
panas yang tidak terhamburkan keluar, masih tetap berada di dalam lautan. Entah
karena potensi pendorongnya tidak cukup atau karena interaksi di permukaan
antara lautan dan atmosfer yang menahannya, tetapi "sisa" panas ini
terus terpumpun. Sampai saat ini dipercaya bahwa pengaruh gravitasi telah
mendorong pumpunan panas ini terkumpul di area kolam panas di sekitar wilayah
ekuator, biak itu di Samudra Pasifik atau pun di Samudra Hindia.
Pelepasan panas dalam jumlah yang sangat tinggi, sebagai akibat
dari "penyimpanan" panas dalam jumlah yang sangat besar dan tersimpan
cukup lama, menjadikan mekanisme iklim mengalami ekstrimitas. El Nino dan La
Nina merupakan salah satu dampak ekstrimitas tersebut. Di wilayah Samudra
Hindia, ekstrimitas tersebut muncul dalam fenomena yang sering disebut Indian
Ocean Dipole Mode (IOD) positif dan negatif.
Dua gejala ekstrimitas alam yang mirip mekanismenya. Keduanya
terjadi di-trigger oleh pelepasan
panas lautan di sekitar ekuator. Pada masa lalu, bahkan "waktu" pelepasan
ini dipahami secara periodikdan teratur dalam waktu 7 tahunan. Tetapi,
keniscayaan pemanasan global, membuka mata para pakar bahwa ternyata waktu
pelepasan tersebut tidak teratur.
Saat alam sedang dalam masa menangguk dan mengumpulkan
sisa-sisa panas yang tidak "terlepas", kita di Indonesia, mengalami
periode musim kemarau dan hujan yang "biasa. Musim hujan dan kemarau
bertukar peran dalam waktu enam bulanan. Tetapi saat alam melepas hasil
"pumpunan" sisa panas, di Indonesia merasakan kemarau yang tak
berkesudahan seperti saat kita mengalami El Nino tahun 2015. Jika kejadian
tahun 2015 tersebut, berbareng dengan pelepasan panas di Samudra Hindia, IOD
positif, maka kita akan mengalami masa kering yang lebih dahsyat lagi, seperti
terjadi pada saat tahun 1997/1998.
Sebalikannya, pelepasan yang demikian besar juga menyebabkan
alam "kehilangan"energi yang besar. Proses pendinginan sebagai dampak
dari besarnya pelepasan energi panas sangat besar, alam perlu menunggu untuk
kembali kepada "kondisi" normalnya. Saat itu, terjadi fenomena
kebalikan dari El Nino, yaitu La Nina. Di Indonesia, kita mengalami tambahan
pasokan hujan yang lebih tinggi dari kondisi biasanya. Hal ini terjadi saat
tahun 2016, ketika hampir sebagian wilayah Indonesia tidak mengalami musim
kemarau.
Jika pun toh terjadi kemarau, waktunya sangat pendek. Pada
tahun 2016 itu, selain La Nina pada tingkat moderat, terjadi pula IOD negatif,
yang menambah pasokan uap air bagi Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat juga
merasakan dan mencatat bahwa di sebagian besar wilayah barat Indonesia, tidak
mengalami musim kemarau sama sekali. Dari sejak 50 tahun yang lalu,
periode El Nino dan La Nina ini menunjukkan peristiwa yang berurutan. Tahun
2017, ini diperkirakan kondisi iklim di Indonesia berada pada kondisi antara
tahun 2015 dan 2016.
Mengapa?
Betapa pun spekulasi tentang proses pelepasan dan penanggukan
panas ini dipahami sebagai jawaban dari peristiwa ekstrim di atas, tetapi
mekanisme yang sesungguhnya mendorong terjadinya, masih belum banyak diungkapkan.
Penjelasan yang diberikan selama ini merujuk pada simulasi komputer. Majalah Economist terbitan 23 Agustus 2014
mencoba menjelaskannya dengan merujuk kajian yang dilakukan Dr. Chen Xianyao
(Ocean University of China, Qindao) dan Ka-Kit Tung (University of Washington).
Data yang mereka kumpulkan diperoleh dari hasil pengamatan
3000 Argo yang merupakan bagian dari kerja sama internasional. Kedua peneliti
ini menunjukkan konfirmasinya terhadap konsep penanggukan dan pelepasan panas
terkait dengan ekstrimitas iklim. Kedua peneliti menunjukkan mekanisme
penanggukan panas tersebut tidak hanya sebatas di wilayah Pasifik bagian timur,
tetapi juga merambah ke Atlantik.
Kedua peneliti juga menunjukkan bahwa lapisan air laut yang
asin di wilayah tropis bergerak ke arah kutub. Saat mendekati kutub,
pergerakannya tertahan oleh pertemuan dengan air laut yang lebih segar, dan
memperlambat laju pertukaran panas. Mekanisme lebih jauh dari proses ini masih
belum diketahui secara pasti. Pemahaman mekanisme ini secara lebih detail, akan
membantu proses prediksi pemanasan global yang saat ini terjadi.
Di pihak lain, pergerakan air laut di kedalaman dan
pertukarannya, selain disebabkan oleh mekanisme perbedaan salinitas dan suhu,
juga didorong oleh gravitasi. Newton yang pertama kali mendefinisikannya
setelah memimpikan jatuhnya buah apel dan kemudian menuliskan perumusannya di
dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Jurnal Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, di tahun 1867.
Sejak itu, tetapan gravitasi menjadi bidang yang banyak
diteliti dan dibahas. Untuk merujuk ke Newton, tetapan gravitasi universal
dituliskan G (huruf besar, 6,6742 m3s-2kg-1).
Gravitasi dalam pengertian sebagai gaya tarik, umumnya dinyatakan dalam g
(huruf kecil), mempunyai harga yang berbeda untuk lokasi yang berlainan.
Seperti telah diketahui bahwa g (huruf kecil, gravitasi bumi) biasanya dipakai
angka 9,8 m/s2. Variasi di bumi sekitar 0,7% yaitu antara 9,7639 m/s2
di Perudan 9,8337 m/s2 di permukaan Laut Artik.
Postdam Geoid - permukaan bumi berdasarkan variasi gravitasi
Perkembangan teknologi modern, memungkinkan untuk memetakan
setiap titik lokasi di bumi dan besarnya gravitasi yang riil. Dalam kaitan ini,
Amerika bekerja sama dengan Jerman meneliti gravitasi melalui proyek Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE).
Proyek ini diakui sebagai kegiatan yang menghasilkan peta baru gravitasi bumi
di setiap lokasi.
Tim GRACE menemukan medan gravitasi berfluktuasi hingga 200
meter. Dr Lee-Lueng Fu mengatakan perbedaan ketinggian muka bumi – betapapun
tampaknya datar – ternyata bergelombang seperti bukit dan gunung. Yang menarik
adalah hasil pengamatan GRACE tersebut menjadi basis perhitungan oleh Tim GFZ
Postdam untuk menggambarkan permukaan bumi berbasis gravitasi.
Mereka merilis geoid (peta rupa purwa bumi), Postdam geoid,
yang ternyata tidak bulat seperti kita pahami saat ini. Perbedaan ketinggian
permukaan Samudra Hindia dengan wilayah di timur Indonesia bisa mencapai 150 m
dilihat berdasarkan variasi gravitasi yang terukur (lihat gambar).
Para peneliti masih berspekulasi bahwa variasi medan gravitasi
yang menghasilkan "Potsdam Potato" ini juga dipengaruhi oleh
perbedaan arus, angin dan pasang surut. Perbedaan salinitas ternyata juga
memacu laju pergerakan arus laut di kedalaman terkait dengan proses
penghantaran panas dari wilayah tropis ke kutub.
Proses penelitian yang akurat seperti yang dihasilkan GRACE,
telah menghasilkan peta sebaran medan gravitasi yang jauh lebih teliti.
Tampaknya para peneliti akan memahami secara lebih jelas tentang pemanasan
global, manakala ketidakbulatan bumi mengantar pada pemahaman sirkulasi laut
secara global, mekanisme penyimpanan panas dan tinggi muka laut.
Andi Eka Sakya
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi Maret 2017 vol 63