Dr. Andi Eka Sakya
Majalah Sains Indonesia Vol. 50 Februari 2016 Hal: 92
COP21 baru saja selesai dengan disepakatinya Paris
Agreement 2015. Para pihak mengakui bahwa hasil kesepakatan ini merupakan
terobosan atas kebuntuan dan kemandegan yang terjadi sejak di COP17 di
Copenhagen. Para pejabat internasional, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon,
Presiden Perancis Francois Hollande, Presiden Amerika Barack Obama, dan Menlu
Perancis sebagai Ketua COP21 menyebut kesepakatan tersebut sebagai langkah
bersejarah. Bagi Perancis, kesepakatan tersebut bisa jadi pengobat duka lara
pascaperistiwa pengeboman di Teater Batacian. Kesepakatan meletakkan target
upaya semua pihak untuk menahan laju kenaikan suhu global tidak lebih dari 2oC
pada tahun 2030. Atau, jika merujuk pada tuntutan negara-negara kepulauan kecil
(Small Islands Development States – ISDS) paling tidak 1.5oC di atas
angka suhu rerata saat Revolusi Industri.
Upaya menyepakati laju kenaikan ini sudah sejak lama
dilakukan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari
2007, secara meyakinkan melalui hasil laporan ilmiahnya ke-4, menunjukkan
terjadinya pemanasan global akibat akumulasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK)
di atmosfer. Hal ini mengantarkan pada perolehan hadiah Nobel. Para ahli
menengarai fenomena alam pemanasan global yang menyebabkan pergeseran iklim
disebabkan oleh aktivitas manusia.
Melalui bukti-bukti ilmiah yang dihimpun oleh para ahli
dari 190 negara melalui IPCC, kenaikan melebih 2oC akan menyebabkan
katastropi. Kenaikan tinggi muka laut, yang menenggelamkan pulau-pulau kecil,
mengganggu ekosistem iklim dan kehidupan manusia, serta meng-akibatkan
timbulnya berbagai bencana hidro-meteorologis seperti banjir, longsor,
kekeringan yang panjang, kebakaran hutan, dan hama penyakit.
Alih-alih pembangunan mampu menciptakan peluang ruang
hidup, kemudahan dan kesejahteraan manusia yang lebih baik, justru telah
menunjukkan dampak negatifnya jika tidak dikelola dengan seimbang dan selaras
de-ngan daya-dukung alam. Laporan riset bersama antara NASA dan ESA menegaskan,
melelehnya es secara masif di kutub utara, terutama di pulau-pulau utamanya,
jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Bahkan, Badan Meteorologi Dunia (World
Meteorological Organization – WMO) menyatakan bahwa kenaikan suhu di tahun 2015
tertinggi.
Di
Indonesia, pelelehan es terjadi pada “selimut” salju di Puncak Jayawijaya.
Perlu dicatat, di dunia hanya ada tiga puncak gunung berselimut salju :
Tanzania, Peru dan Indonesia. Penelitian Tim BMKG bersama dengan Columbia
University (2015) menunjukkan pelelahan terjadi lebih cepat dari 5 tahun sebelumnya
(2010).
Riset
kecil – kecilan menunjukan pengaruh kegiatan manusia memang menyumbang kurang
lebih 30% konsentrasi karbon. Hal ini dibuktikan melalui pengamatan saat Hari
Raya Nyepi si Bali 2013 oleh BMKG. Dari lima lokasi yang diamati pada sebelum,
sesaat dan sesudah Hari Raya Nyepi, kenaikan sumbangan gas rumah kaca mencapai
30%.
Sejatinya,
perhatian manusia terhadap ketidak seimbangan dan eksplorasi pembangunan yang
melebihi daya dukung alam – paling tidak dalam 5 dasawarsa terakhir – telah banyak
dibahas. Perhatian dan keprihatinan tentang dampak “keserakahan” manusia dalam
mengeksplirasi sumber daya alam telah sukses menggeser konsep pembangunan “hitam”
menuju ke “hijau” yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Di
Indonesia, upaya pembangunan melalui eksplorasi alam secara lebih ramah telah
lama dilakukan. Perhatian terhadap lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem
telah muncul sejak 1970-an dengan hadirnya Kementerian Lingkungan Hidup. Pada
tataran operasional, gada penerapan analisis dampak lingkungan (AMDAL) di
berbagai sector pembangunan (Peraturan Pemerintah No 27/2012). Melalui
kebijakan ini, sebuah rencana kegiatan pembangunan dikaji dari aspek ekologi, social – ekonomi, budaya dan
kesehatan masyarakat, untuk menjaga agar dampak negative terhadap masyarakat
tetap terukur dan dapat dihindari sejak dini.
Kenaikan suhu udara rata-rata dalam 100 tahun terakhir |
Namun
demikian, dorongan untuk menerapkan konsep pembangunan hijau ternyata belum
cukup mampu memitigasi dampak negative kegiatan pembangunan. Jebakan ekonomi
hijau menjadi termonologi umum untuk menyatakan ketidak-berdayaan konsepsi ini
menahan laju “keserakahan” eksploitasi alam. Hal ini juga sering dirujuk kepada
hasil dari IPCC tentang kecenderungan naiknya konsentrasi emisi karbon global yang
men-trigger pemanasan global dan
dampaknya yang terjadi dalam bentuk pergeseran iklim.
Di
Indonesia, kecenderungan kenaikan suhu tersebut juga teramati. Pada Gambar di
tunjukan hasil scenario kondisi kenaikan suhu udara dalam 100 tahun di berbagai
wilayah di Indonesia yang dihitung berdasarkan rujukan tahun 2014 terhadap base line 1980 – 1990. Kenaikan tertinggi
terjadi justru di Jawa Barat bagian selatan yang mencapai 1oC.
Sementara kenaikan terendah terjadi di wilayah Bali yaitu sekitar 0,14oC.
Menarik
pula membandingkan Bali dengan daerah sebelah timurnya yang diketahui tidak
begitu banyak hujan, Di Lombok dan Sumbawa kenaikan suhu memang sedikit lebih
tinggi, tetapi di NTT ternyata lebih tinggi dari pada kenaikan suhu global, yang
dalam 100 tahun “hanya” berkisar 0,3oC sd 0,7oC. Dari
gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan : Pertama, kenaikan suhu di
Indonesia secara rata-rata lebih tinggi daripada rerata global; Kedua, bahwa
kenaikan suhu tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis yang sangat lokal;
dan ketiga, terdapat korelasi yang jelas dengan aktivitas penduduk.
0 comments:
Post a Comment