Wednesday, October 16, 2013

Ketahanan Petani Lewat Asuransi Iklim

Andi Eka Sakya

 KETAHANAN biasa diterjemahkan sebagai kekuatan, kemampuan, keuletan dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG), baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Ketahanan Nasional dikaitkan dengan keuletan bangsa dalam ATHG yang mengancam daya hidup bangsa dan kebangsaan. Demikian pula ketahanan petani dapat pula dikonotasikan sebagai kekuatan, kemampuan, dan daya hidup petani menghadapi berbagai ATHG yang mengancam. Dalam arti dinamis, bisa pula diartikan sebagai kecepatan petani dan pertanian untuk bangkit lagi setelah dilumat bencana, seperti: banjir, puso, kekeringan, dan sebagainya.
Dilihat dari perspektif sektorial, kehidupan petani dan sistem pertanian sering dikaitkan dengan empat pilar utama. Yaitu: benih, pupuk, irigasi, dan iklim. Benih atau bibit dihubungkan dengan kesiapan tanam dan kuantitas hasilnya. Pupuk dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesuburan tanah bagi proses tumbuh kembang padi. Irigasi mengatur keseimbangan pasokan air terhadap kebutuhan tumbuh kembang tanaman. Dan, iklim merupakan faktor luar sebagai wujud ATHG alami yang dihadapi petani dan pertanian.
Tiga dari empat pilar di atas (kualitas benih, pupuk dan irigasi) secara langsung dapat dikendalikan dengan tata kelola petani dan sistem pertanian. Iklim secara alami jelas di luar kendali petani dan sistem pertanian. Kondisi iklim ini, dengan keniscayaan pemanasan global,  jelas menjadi ancaman yang sangat serius bagi petani dan sistem pertanian.
Ketahanan petani dan sistem pertanian yang mengacu pada empat pilar di atas justru melupakan perihal utama, inti dan pokok unsur ketahanan, yaitu petaninya. Seperti halnya unsur ketahanan nasional, ketahanan petani merupakan gabungan dari berbagai elemen dari sistem pertanian. Namun demikian, daya bangkit petani setelah menghadapi bencana merupakan faktor utama untuk mengawali kembali kegiatannya.
Bagi yang tertimpa bencana, terlebih lagi bagi petani kecil yang hanya mempunyai tanah garap kurang dari satu hektare, persoalan yang dihadapi tidak sekadar bagaimana bangkit, tetapi seberapa cepat bisa memulai aktivitas pertanian mereka. Bantuan sosial sebagai salah satu alternatif pertolongan darurat untuk bertahan hidup, tetapi tidak mencakup keperluan modal untuk memulai kegiatan ekonominya. Pinjaman kredit bank? Jelas jauh dari kemampuan mereka untuk menyediakan agunannya.
Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan adalah asuransi indeks cuaca/iklim. Pengganti yang diberikan kepada petani saat panen (berpotensi) gagal. Persoalannya, belum ada perusahaan asuransi yang ”berani” memberikan tawaran skema produk asuransi kegagalan panen. Benarkah? Tampaknya tidak sepenuhnya benar.
Sejatinya pemerintah sudah berusaha banyak dalam mengembangkan produk-produk asuransi bagi para petani. Misalnya di Boyolali untuk peternak sapi, di Jember untuk produk tembakau terhadap kegagalan panen disebabkan hama penyakit. Tetapi, seperti telah disinggung, persoalan kegagalan panen tidak hanya disebabkan hama penyakit.
Fenomena perubahan iklim telah mengubah siklus dan lama waktu musim kering dan hujan, dan menjadi salah satu momok bencana bagi petani. Panen gagal. Produk tanaman kotor. Tanaman puso. Harga anjlok. Semua berdampak pada penghasilan ekonomi, yang pada gilirannya mempengaruhi kemampuan daya-dukung untuk memulai kegiatan ekonomi.
Banjir dapat terjadi di berbagai daerah akan memporak-porandakan harapan petani untuk menikmati hasil panen. Alih-alih bisa membayar seluruh “pinjaman” selama masa tanam, seluruh harapan tersebut hanyut bersama arus deras banjir yang dipicu oleh curah hujan yang tidak terbendung. Beberapa saat menyaksikan derita petani dan para pengungsi banjir terbetik ucapan Menteri Pertanian untuk bisa mencari skema jalan keluar guna membiayai kegiatan para petani, segera setelah banjir selesai. Menarik, karena Menteri Pertanian juga menyinggung pendanaan asuransi.
Di Afrika--dan sekarang dikembangkan di India, China dan Thailand--ternyata telah berkembang skema penyelamatan yang diimpikan oleh Menteri Pertanian di atas. Skema tersebut adalah Asuransi Indeks Cuaca/Iklim (AICI), salah satu produk asuransi berbasis perhitungan indeks yang dihasilkan dari korelasi perubahan cuaca lokal dengan pertumbuhan tanaman di daerah bersangkutan. Proyek yang sejak awal didorong oleh Bank Dunia tersebut, sekarang telah memberikan manfaat sangat besar dalam menumbuhkan harapan dan kepercayaan diri para petani, petambak, dan pekebun di negara-negara yang telah menerapkannya.

Tantangan Penerapannya
Kondisi Indonesia, dari segi musim, sering dikaitkan dengan rumitnya persoalan prakiraan musim. Pertama, letak Indonesia yang tepat di garis khatulistiwa menyebabkan kompleksitas perubahan parameter cuaca/iklim di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain seperti di wilayah subtropika yang lebih teratur dan mudah diprakirakan.
Kedua, kombinasi daratan dan lautan serta dua samudra yang mengapit Indonesia memberikan kontribusi kerumitan prakiraan, baik dari segi informasi atmosferis maupun karakteristik angin. Ketiga, kompleksitas ini semakin diperparah pengaruh pergeseran iklim akibat pemanasan global. Keempat, banyaknya zona awal musim di Indonesia yang mencapai lebih dari 300 wilayah.
Penerapan skema asuransi cuaca di Indonesia, di satu pihak memerlukan pengukuran teliti dan berkualitas. Di pihak lain, diperlukan proses edukasi bagi petani kecil yang selama ini termarginalkan. Untuk memberikan fasilitasi hasil pengukuran curah hujan yang sahih dan dapat dipahami secara adil oleh pihak perusahaan maupun petani, diperlukan: (1) penyajian data yang tepercaya, (2) data tersebut terbaca dan dipahami maknanya oleh kedua belah pihak, (3) perlu perangkat perundangan yang memungkinkan diterapkannya mekanisme aktuaria bagi petani kecil.
Undang-Undang No 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat menjadi landasan pembangunan pengamatan cuaca/iklim agar diperoleh data yang lebih tepercaya. Intermiediasi bagi petani dapat dilakukan dengan cara mendorong percepatan penyebaran penyuluh dan langkah aksi adaptasi perubahan iklim. Tinggal perangkat perundang-undangan untuk mendasari bahwa langkah penerapan Asuransi Indeks Cuaca/Ikim (AICI)-- yang akan memperkokoh ketahanan petani dan sistem pertanian di Indonesia--memperoleh penguatan dan perlindungan untuk penerapannya.

[Jurnal Nasional, Sabtu 31 Desember 2011, Halaman 10]

0 comments: