http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

http://www.andiekasakya.blogspot.com/

Monday, April 11, 2016

Sinergi Menghadapi Bencana dan Perubahan Iklim

Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng
Koran Tempo Edisi NO. 5213. Selasa, 12 April 2016. Hal. 3


Terinspirasi dari buku berjudul The World in 2050 oleh Laurence C Smith, Andi Eka Sakya menjelaskan lima faktor yang bisa diantisipasi untuk menanggapi perubahan ilkim di Indonesia. Lima faktor tersebut ialah populasi, ketersediaan sumber daya, dampak globalisasi (aktivitas ekonomi dan kondisi alam), perubahan ilkim, dan perkembangan teknologi. "Berapa juta ton energi listrik dan air yang dibutuhkan masyarakat pada 2050, yakni saat semua berkolerasi dengan perubahan iklim ?" kata Andi.

Rencana induk dirancang BMKG dalam periode 2015-2045. Tujuannya, di masa mendatang BMKG dapat beroperasi dengan sistem berbasis IPTEK. "Keandalan infrastruktur, kualitas SDM, dan sisi compliance merupakan beberapa hal mendasar yang menjadi tantangan kami dalam meningkatkan kinerja BMKG," tutur Andi. Hal ini ia sampaikan di sela persiapannya menjelang konferensi Disaster Risk Reduction 2016 di Jenewa, Swiss, pertemuan 6 bulanan yang diadakan World Meteorological Organization (WMO).

Sesuai dengan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Visi BMKG memang meliputi upaya-upaya mendukung keselamatan masyarakat, keberhasilan pembangunan nasional, dan aktif di tingkat international. "Karenanya, penyampaian informasi tentang bencana dan iklim mesti didukung lima pilar diseminasi, yakni pemerintah, swasta, universitas dan penelitian, LSM, serta rekan-rekan jurnalis," ucap Andi.

Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Swiss Doris Leuthard sempat berkunjung ke kantor BMKG. Salah satu agendanya meninjau pemanfaatan capacity building and twinning for climate observing system (CATCOS). Pada kesempatan tersebut, Leuthard sempat menyampaikan kekagumannya kepada BMKG karena memiliki sistem teknologi mutakhir dan tenaga-tenaga profesional.(TIM INFO TEMPO)





Paradigma Baru Diseminasi Peringatan Dini Bencana

Andi Eka Sakya
Majalan Sains Indonesia Vol. 51 Maret 2016 Hal. 81

Paris Agreement yang disepakati dalam COP21 merupakan sebuah terobosan. mengintegrasikan pandangan dunia terkait dengan dampak perubahan iklim. Sebelumnya, penekanan hanya dilakukan pada langkah mitigasi. Upaya mendorong langkah adaptasi terus terbentur oleh ketidak-sepakatan dari negara-negara maju. Demikian pula, loss and damage, capacity building dan awareness. Pada COP21, 193 negara sepakat mendukung upaya menahan laju meningkatnya suhu global 1.5odi atas era pra-industri, yaitu: mitigasi, adaptasi, ­loss and damage (kerugian dan kerusakan), capacity building (pengembangan kapasitas), dan peningkatan kesadaran melalui pelatihan, serta dukungan keuangan. Sejarah baru diciptakan. Langkah baru perlu dibentangkan. 
Gagasan memasukkan langkah adaptasi terformulasi sejak Cancun Adaptation Framework. Hal ini didukung oleh kenyataan proses kerusakan alam sebagai dampak perubahan iklim, ternyata jauh lebih dahsyat, lebih cepat dan semakin sering terjadi, dibanding dengan kecepatan upaya untuk menghambat laju konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). BNPB menunjukkan, 90% dari bencana yang terjadi dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh cuaca dan iklim (hidro-meteorologi). Langkah adaptasi dilakukan untuk mendorong masyarakat menyesuaikan diri terhadap perubahan alam yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim. To manage the unavoidable.
Indonesia sangat berkepentingan dengan langkah adaptasi. Sebagai negara kepulauan di katulistiwa dan sangat dipengaruhi oleh berbagai climate drivers, seperti: ENSO (El Nino Southern Oscillation) di Pasifik Timur dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Lautan Hindia. Belum lagi gangguan MJO (Madden-Julian Oscillation) yang berosilasi dari barat di Samudera Hindia ke timur di Samudera Pasifik.
Ada juga seruak di-ngin (cold surge) dari Tiongkok menyeberang ke selatan katulistiwa untuk “memaksa” intensitas hujan “sangat” deras, seperti halnya yang terjadi di Bangka (8 Februari 2016) dan Jabodetabek (14 Februari 2016). Gangguan dan gejala di atas, ditambah dengan pergeseran iklim memporak-porandakan keteraturan musim di Indonesia, menjadikan lengkap sudah “tekanan” dan kontribusi kerentanan bagi Indonesia terhadap dampak perubahan iklim.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) Bappenas (2014), adaptasi adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan suatu sistem terhadap dampak perubahan iklim. Langkah adaptasi di Indonesia diarahkan pada : (1) upaya penyesuaian dalam bentuk strategi, kebijakan, pengelolaan/manajemen, teknologi dan sikap agar dampak perubahan iklim dapat dikurangi seminimal mungkin, dan bahkan jika memungkinkan dapat memanfaatkan dan memaksimalkan dampak positifnya, dan (2) upaya mengurangi dampak (akibat) perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun diskontinu dan permanen serta dampak menurut tingkatnya.


Paradigma Baru
Konferensi Dunia Pengurangan Risiko Bencana (World Coinference on Disaster Risk Reduction - WCDRR) Maret 2015 membahas evaluasi menyeluruh upaya pengurangan risiko bencana. Kongres WCDRR Ke-3 ini mengadopsi Kerangka Pengurangan Risiko Bencana Sendai (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction - WCDRR) yang mencakup empat prioritas, yaitu : (1) pemahaman risiko bencana, (2) memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana; (3) investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketahanan; dan (4) meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif. Hal tersebut ditunjukan untuk "Building Back Better" - membangun kembali lebih baik - melalui proses pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta mendefinisikan kembali peran stakeholder,  kerja sama internasional dan kemitraan global. Kerangka Sendai sangat diapresiasi berbagai pihak.
Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization - WMO) menyadari dampak perubahan iklim dalam 10 tahun terahir di dominasi oleh bencana hidro-meteorologis. Kongres ke-17 (Juni 2015) itu secara khusus membahas Kerangka Sendai (SFDRR) dalam perspektif layanan informasi cuaca dan iklim. Forum sepakat untuk menggeser pemahaman layanan informasi dari sekedar memberikan prakiraan dan peringatan dini cuaca dan iklim,menjadi prakiraan berdasarkan dampak dan peringatan dini berdasarkan risiko (Impact based Forecasting and Risk based Warning - IFRW). Paradigma ini menyiratkan untuk mengurangi risiko bencana, produk prakiraan dan peringatan dini cuaca ekstrim tidak lagi mencukupi, tidak juga perlu disebarkan ke seluruh wilayah, serta harus memuat informasi baku agar mudah dipahami. Cakupan prakiraan dan peringatan dini bencana juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan sektor-sektor terkait (thematic field).
Learning process dari El Nino 2015 menguatkan urgensi IFRW sebagai paradigma baru. Saat sebagian wilayah Indonesia, terutama bagian selatan khatulistiwa, dilanda kebakaran hutan dan lahan, di bagian utara (Aceh, misalnya) dalanda banjir besar. Keduanya perlu dipilah dan melihat dampak risikonya. Demikian juga peringatan dini potensi bencana geologis. Gempa di Sumba Barat (12 Februari 2016) tentu tidak terasa di Aceh dan di Kalimantan. Maka, konsentrasi penyebaran informasinya pun tidak perlu disebar sampai di Aceh atau Kalimantan. Sering kesalahterimaan informasi justru menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Oleh karenanya, penyebaran informasi prakiraan dan peringatan dini berbasis IFRW menjadi jauh lebih efektif, efisien dan optimal.


Konsekuensi Penerapan
Untuk menerapkan paradigma baru tersebut, tidaklah mudah. Beberapa elemen informasi perlu diproses terlebih dahulu sebelum didiseminasikan. Itu pun, perlu dijamin bahwa produk informasi prakiraan atau peringatan dini tersebut dapat dipahami dan mengantar pada pembuatan keputusan yang benar. Oleh karenanya, dilihat dari perspektif langkah adaptasi paradigma IFRW setidaknya mencakup dua hal : (1) sistem peringatan dini yang handal, dan (2) pemahaman dan kesadaran iklim yang tinggi, atau jika diperluas menjadi potensi bencana: disaster literacy.
Sistem peringatan dini mensyaratkan penguatan infrastruktur teknologi dari pengamatan, pengolahan dan diseminasi. Proses dan diseminasi pengamatan perlu serba otomatis, terintegrasi dan berkesinambungan. Simulasi cuaca dan iklim secara numerik tidak bisa terhindarkan lagi, karena tuntutan kecepatan, banyak dan bervariasinya data (big data). Hasil pengamatan semua parameter diintegrasikan dan dipersiapkan dalam format baku tertentu, serta diasimilasi dengan data citra pengamatan inderaja (satelit) untuk dimanfaatkan sebagai masukan simulasi numerik, maupun untuk keperluan basis data.


Sunday, April 10, 2016

Parameter Cuaca Dalam Perspektif Pembangunan


Dr. Andi Eka Sakya
Majalah Sains Indonesia Vol. 50 Februari 2016 Hal: 92


COP21 baru saja selesai dengan  disepakatinya Paris Agreement 2015. Para pihak mengakui bahwa hasil kesepakatan ini merupakan terobosan atas kebuntuan dan kemandegan yang terjadi sejak di COP17 di Copenhagen. Para pejabat internasional, termasuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden Perancis Francois Hollande, Presiden Amerika Barack Obama, dan Menlu Perancis sebagai Ketua COP21 menyebut kesepakatan tersebut sebagai langkah bersejarah. Bagi Perancis, kesepakatan tersebut bisa jadi pengobat duka lara pascaperistiwa pengeboman di Teater Batacian. Kesepakatan meletakkan target upaya semua pihak untuk menahan laju kenaikan suhu global tidak lebih dari 2oC pada tahun 2030. Atau, jika merujuk pada tuntutan negara-negara kepulauan kecil (Small Islands Development States – ISDS) paling tidak 1.5oC di atas angka suhu rerata saat Revolusi Industri.

Upaya menyepakati laju kenaikan ini sudah sejak lama dilakukan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada awal Februari 2007, secara meyakinkan melalui hasil laporan ilmiahnya ke-4, menunjukkan terjadinya pemanasan global akibat akumulasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Hal ini mengantarkan pada perolehan hadiah Nobel. Para ahli menengarai fenomena alam pemanasan global yang menyebabkan pergeseran iklim disebabkan oleh aktivitas manusia. 

Melalui bukti-bukti ilmiah yang dihimpun oleh para ahli dari 190 negara melalui IPCC, kenaikan melebih 2oC akan menyebabkan katastropi. Kenaikan tinggi muka laut, yang menenggelamkan pulau-pulau kecil, mengganggu ekosistem iklim dan kehidupan manusia, serta meng-akibatkan timbulnya berbagai bencana hidro-meteorologis seperti banjir, longsor, kekeringan yang panjang, kebakaran hutan, dan hama penyakit. 

Alih-alih pembangunan mampu menciptakan peluang ruang hidup, kemudahan dan kesejahteraan manusia yang lebih baik, justru telah menunjukkan dampak negatifnya jika tidak dikelola dengan seimbang dan selaras de-ngan daya-dukung alam. Laporan riset bersama antara NASA dan ESA menegaskan, melelehnya es secara masif di kutub utara, terutama di pulau-pulau utamanya, jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Bahkan, Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO) menyatakan bahwa kenaikan suhu di tahun 2015 tertinggi. 

Di Indonesia, pelelehan es terjadi pada “selimut” salju di Puncak Jayawijaya. Perlu dicatat, di dunia hanya ada tiga puncak gunung berselimut salju : Tanzania, Peru dan Indonesia. Penelitian Tim BMKG bersama dengan Columbia University (2015) menunjukkan pelelahan terjadi lebih cepat dari 5 tahun sebelumnya (2010).

Riset kecil – kecilan menunjukan pengaruh kegiatan manusia memang menyumbang kurang lebih 30% konsentrasi karbon. Hal ini dibuktikan melalui pengamatan saat Hari Raya Nyepi si Bali 2013 oleh BMKG. Dari lima lokasi yang diamati pada sebelum, sesaat dan sesudah Hari Raya Nyepi, kenaikan sumbangan gas rumah kaca mencapai 30%.

Sejatinya, perhatian manusia terhadap ketidak seimbangan dan eksplorasi pembangunan yang melebihi daya dukung alam – paling tidak dalam 5 dasawarsa terakhir – telah banyak dibahas. Perhatian dan keprihatinan tentang dampak “keserakahan” manusia dalam mengeksplirasi sumber daya alam telah sukses menggeser konsep pembangunan “hitam” menuju ke “hijau” yang lebih ramah terhadap lingkungan.

Di Indonesia, upaya pembangunan melalui eksplorasi alam secara lebih ramah telah lama dilakukan. Perhatian terhadap lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem telah muncul sejak 1970-an dengan hadirnya Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tataran operasional, gada penerapan analisis dampak lingkungan (AMDAL) di berbagai sector pembangunan (Peraturan Pemerintah No 27/2012). Melalui kebijakan ini, sebuah rencana kegiatan pembangunan dikaji dari aspek  ekologi, social – ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat, untuk menjaga agar dampak negative terhadap masyarakat tetap terukur dan dapat dihindari sejak dini.
Kenaikan suhu udara rata-rata dalam 100 tahun terakhir

Namun demikian, dorongan untuk menerapkan konsep pembangunan hijau ternyata belum cukup mampu memitigasi dampak negative kegiatan pembangunan. Jebakan ekonomi hijau menjadi termonologi umum untuk menyatakan ketidak-berdayaan konsepsi ini menahan laju “keserakahan” eksploitasi alam. Hal ini juga sering dirujuk kepada hasil dari IPCC tentang kecenderungan naiknya konsentrasi emisi karbon global yang men-trigger pemanasan global dan dampaknya yang terjadi dalam bentuk pergeseran iklim.

Di Indonesia, kecenderungan kenaikan suhu tersebut juga teramati. Pada Gambar di tunjukan hasil scenario kondisi kenaikan suhu udara dalam 100 tahun di berbagai wilayah di Indonesia yang dihitung berdasarkan rujukan tahun 2014 terhadap base line 1980 – 1990. Kenaikan tertinggi terjadi justru di Jawa Barat bagian selatan yang mencapai 1oC. Sementara kenaikan terendah terjadi di wilayah Bali yaitu sekitar 0,14oC.

Menarik pula membandingkan Bali dengan daerah sebelah timurnya yang diketahui tidak begitu banyak hujan, Di Lombok dan Sumbawa kenaikan suhu memang sedikit lebih tinggi, tetapi di NTT ternyata lebih tinggi dari pada kenaikan suhu global, yang dalam 100 tahun “hanya” berkisar 0,3oC sd 0,7oC. Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan : Pertama, kenaikan suhu di Indonesia secara rata-rata lebih tinggi daripada rerata global; Kedua, bahwa kenaikan suhu tersebut dipengaruhi oleh kondisi geografis yang sangat lokal; dan ketiga, terdapat korelasi yang jelas dengan aktivitas penduduk.


Wednesday, April 6, 2016

Bangga Bisa Nonton GMT Bareng Pak JK



“Karena saya mempunyai teman yang lahir di kota ini. Katanya, Sulawesi dan apalagi Sulawesi Tengah sangat indah. Saya sudah beberapa kali ke Indonesia, menikmati Bali, Pulau Komodo, dan keramaian di Jawa, tapi belum sempat datang ke Palu. Jadi, inilah saat yang tepat, mengagumi keindahan Kota Palu saat gerhana Matahari,” ujar Andre Kuipers. 
Tidak hanya Pak JK, para jurnalis yang turut dalam kegiatan pengamatan GMT di lapangan Kotapulu, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 9 Maret lalu, juga antusias ingin tahu bagaimana kesan Andre melihat Bulan dari Bumi dibanding ketika mengunjungi langsung. Astronot asal Belanda ini telah dua kali mengikuti ekspedisi ke Bulan. Pertama, tahun 2004 selama hanya 11 hari. Kemudian, tahun 2012 selama 193 hari. 
“Ternyata, Bulan dari sini terlihat sama dengan Bulan yang pernah saya datangi. Menyaksikan Bulan saat gerhana Matahari total, sama fantastisnya dengan pengalaman bisa mengunjunginya langsung,” katanya.
Seperti penjelajah luar angkasa umumnya, menurut Andre, saat mengikuti ekspedisi ke Bulan, bersama tim di European Space Agency (ESA), ia pun sangat penasaran, seperti apa sesungguhnya kondisi di sana. “Luar biasa. Itulah sebabnya, saya dan tim begitu gembira saat tahu kami akan bisa melihat fenomena langka, Bulan menutup seluruh cahaya Matahari yang menyinari Bumi. Sangat istimewa, karena momen itu sekaligus menjadi kesempatan untuk membuktikan keindahan Palu, seperti cerita teman saya itu,” ujar Andre. 
Makin Terkenal di Dunia 
Selain Pak JK, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya juga mengaku bangga bisa menyaksikan momen GMT bersama ratusan wisatawan mancanegara (Wisman), termasuk para peneliti, di lapangan Kotapulu. Lokasi ini merupakan salah satu titik yang ditetapkan BMKG untuk pengamatan GMT 9 Maret 2016. Tak hanya mengabadikan proses gerhana, di Palu, BMKG juga mengamati pengaruh gravitasi dan dampak lain, yang dibandingkan saat terjadi gerhana total dengan kondisi sehari-hari. Menurut Andi, hasil pengamatan tersebut baru bisa diketahui hasilnya sekitar dua sampai tiga bulan lagi.

"Sama seperti peneliti di Indonesia. saya rasa ilmuwan berbagai negara yang khusus datang untuk melihat gerhana Matahari di Indonesia, juga ingin mendapatkan "sesuatu" dari fenomena langka ini. Selamat, karena dari momen GMT, Indonesia jadi sangat terkenal di dunia," kata Andre, dengan acung jempol.

Bersama rombongan peneliti dan para turis yang datang ke Indonesia dengan tujuan wisata gerhana, Andre tiba di Denpasar, Bali dua hari sebelum GMT. "Luar biasa, Bandar Ngurah Rai terlihat sangat ramai oleh turis asing. Melebihi musim liburan, saya rasa. Semua orang di berbagai negara, termasuk saya, ingin datang ke Indonesia untuk melihat gerhana Matahari yang istimewa ini karena hanya melintasi daratan di wilayah Indonesia. Saya amat beruntung ada di sini, terlebih lagi bisa bersama-sama Wapres Jusuf Kalla dan Anda semua para jurnalis hebat, untuk menonton gerhana Matahari total. Saya tidak membayangkan ini sebelumnya. Sungguh, sangat menyenangkan," imbuh Andre.

[Sumber : Majalah Sains Indonesia edisi April 2016, vol 52 Hal : 80 |  http://www.sainsindonesia.co.id/index.php/rubrik/tokoh/2224-bangga-bisa-nonton-gmt-bareng-pak-jk ]

Wapres Swiss Terkagum-kagum Saat Kunjungi BMKG


Jakarta - Wapres Swiss Doris Leuthard bertandang ke Badan Metereologi Klimatologi Geofisika (BMKG). Leuthard meninjau sejauh mana Pemanfaatan program Capacity Building and Twinning for Climate Observing System (CATCOS). Leuthard memuji BMKG karena punya sistem teknologi yang mutakhir dan tenaga profesional.

"Akan pentingnya BMKG untuk mengatasi tsunami bagi masyarakat. Center ini sangat penitng dalam hal analisa data dan peringatan dini bencana alam (karhutlaha, tsunami, gempa)," kata Leuthard di kantor BMKG, Jl Angkasa, Jakarta Pusat (30/3/2016).

"Saya juga sangat surprise karena SDM di sini sangat profesional dan baik. Orang-orang sangat terpendidikan dan Indonesia harus bangga," imbuhnya.

Leuthard kemudian ditemani Kepala BMKG Andi Eka Satya melihat sejumlah ruangan operasional.

Leuthard juga menyampaikan selamat kepada BMKG yang memiliki sistem dan teknologi yang canggih untuk memantau perubahan iklim, cuaca, dan peringatan dini tsunami. Dengan adanya peralatan yang canggih, Leuthard penting sekali untuk kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari perubahan iklim dan dampak bencana alam.

"Dengan adanya perubahan iklim dan penggunahan energi yang menciptakan gas green house dan efektifnya bagi kesehatan sangat besar. Efektifnya terhadap center ini sangat penting untuk mengantisipasi hal itu," kata Leuthard.

Leuthard dalam kunjugan itu berharap agar teknologi Swiss yang diperbantukan untuk alat monitoring aerosol dan black carbon di stasiun pengamatan atmosfer di Kototabang, Sumatera Barat dapat bermanfaat. Ia mengatakan akan terus mendukung BMKG misalnya dengan mentraining SDM BMKG.

Selain itu, Leuthard mengatakan Indonesia dan Swiss bisa berkontribusi untuk mengurangi emisi Co2 dan menjadi salah satu solusi dan bersama untuk mengantisipasi perubahan iklim.

"Pada saat ini saya akan betemu dengan presiden dan pemerintah Indonesia untuk cari solusi bersama untuk mencegah dari efek-efek iklim dan juga untuk konsumsi energi yang lebih efisien," imbuhnya.

"Dan seperti kita tahu bersama kita sudah tanda tangani Paris Agreement di mana Indonesia menjadi salah satu yang ikut untuk mencari solusi dalam mengurangi Co2 dan gas rumah kaca. Ini untuk rumah kita bersama," tutup dia. 
(dra/dra)


[Sumber : http://news.detik.com/berita/3175719/wapres-swiss-terkagum-kagum-saat-kunjungi-bmkg | Yulida Medistira, - detikNews | Rabu 30 Mar 2016, 11:57 WIB]

Swiss dan BMKG Kerjasama Program Catcos: Pantau Efek Rumah Kaca


Jakarta - Badan Metereologi Klimatologi Geofisika (BMKG) dan MetroSwiss telah menyepakati MoU dalam program Catcos Building and Twimming for Climate Observing System (Catcos). Program ini digunakan untuk memonitor efek gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.

"Sebenarnya kita sudah lama bekerjasama dengan Swiss terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Mereka membantu kami misalnya dalam hal memantau gas rumah kaca dalam sumber-sumber emisi," kata Kepala BMKG Andi Eka Sakya, di kantornya, Jl Angkasa, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2016).

Di Indonesia sudah ada stasiun pemantau atmosfer global di Kototabang, Sumatera Barat yang sejak tahun 2012 beroperasi . Pemerintah Indonesia sudah ada stasiun pemantauan atmosfer global lagi di Palu dan Sorong, tetapi belum optimal operasionalnya karena SDM dan peralatan yang belum terpenuhi.

"Ini bagaimana kita mengamati setiap gas rumah kaca sehingga kita bisa mengamati setiap detil dari gas itu misal Co, metam, dsb sehingga kita bisa melihat trendnya seperti yang ada. Bagaimana Indonesia untuk menunjukan kecepatan dan kenaikan gas rumah kaca. Karena itu kan kenapa kita bangun di Palu dan Sorong karena di wilayah Indonesia tengah dan di Timur itu kita bangun untuk memantau di seluruh Indonesia," kata Andi. 
(dra/dra)

[Sumber : http://news.detik.com/berita/3175800/swiss-dan-bmkg-kerjasama-program-catcos-pantau-efek-rumah-kaca  | Yulida Medistira, - detikNews | Rabu 30 Mar 2016, 13:22 WIB]