Sunday, October 18, 2015

ElNino, Siapa Takut ?

Andi Eka Sakya

JAKARTA - Musim kemarau panjang yang sedang di alami Indonesia akhir-akhir ini membuat masyarakat mengalami kepanikan yang hebat. Oleh karenanya, masyarakat bertanya-tanya kapan musim kemarau panjang ini akan berakhir?
Mengingat warga di beberapa wilayah mengalami dampak buruk dari kemarau panjang tersebut, seperti gagal panen dan kesulitan mendapatkan air bersih.
Menjawab keresahan masyarakat, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa masyarakat tak perlu panik menyikapi musim kemarau panjang di Indonesia, sebab hal tersebut hanya bersifat sementara.
BMKG menjelaskan, bahwa gejala kekeringan tersebut termasuk perubahan iklim biasa yang disebut El Nino. El Nino bukanlah gelombang panas, El Nino juga bukan badai. El Nino merupakan fenomena yang terjadi karena alam melakukan “koreksi” untuk mencari kesetimbangan.
Oleh karenanya, ini merupakan kejadian berulang. Dapat dicatat, sejak dunia ini diciptakan, kekeringan jangka panjang dan hujan silih berganti. Manusia tidak dapat mengubahnya. Umat manusia hanya bisa memitigasi dampak resiko kemunculannya.
“Fenomena El Nino tersebut terjadi karena meningkatnya suhu permukaan laut di wilayah Pasifik Ekuator di sebelah barat Amerika Selatan di atas rerata klimatologisnya. Peningkatan suhu terjadi di wilayah yang sering juga disebut sebagai kolam hangat (warm pool) di Pasifik. Semua negara di dunia, terutama negara-negara yang secara langsung berbatasan dengan Samudera Pasifik, melakukan pengamatan secara serius,” kata Andi Eka Sakya, Kepala BMKG kepada Okezone.
Amerika Serikat (AS) termasuk negara yang paling serius mengamati fenomena ini. Dengan peralatan pengamatannya, Amerika menyediakan peralatan pengamatan global, baik untuk permukaan, maupun sampai ke dalam laut hingga mencapai kedalaman sekitar 500 m.
Hasil pengamatan dari berbagai negara tersebut dibagikan oleh berbagai badan prakiraan iklim dan cuaca untuk melakukan prediksi. Oleh karenanya, angka indeks yang dihasilkan dari pengamatan tersebut unik. Sedangkan, prakiraan ke depannya berbeda satu dengan yang lain, bergantung dari metode yang digunakannya.
Dengan demikian, sering pula ditemui perbedaan angka prakiraan intensitas El Ninotersebut dari masing-masing lembaga karena dihitung dengan metode yang berbeda pula.
Pertama bahwa kemunculan El Nino dengan intensitas kuat berulang: 1957/58, 1965/66, 1982/83 dan 1997/98. Skala angkanya mencapai di atas 2.0 (kuat).
Bagi Indonesia, kejadian El Nino 1997/98 merupakan catatan sejarah yang dapat dijadikan pelajaran: hutan dan lahan terbakar sangat luas, asap menimbulkan problem kesehatan dan bahkan mengganggu negara tetangga, gagal panen (puso) dan impor beras cukup tinggi.
Upaya untuk memitigasi dampak resikonya bukan tidak ada. BMKG mencatat, Kementerian Lingkungan Hidup saat itu bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dengan sigap mengerahkan pesawat Hercules untuk operasi pemadaman. Kejadian El Nino belum terprediksi dengan kapasitas seperti saat sekarang.
Kedua, El Nino membawa dampak kekeringan. Kekeringan tersebut berimbas pada banyak sektor, terutama lingkungan hidup, kehutanan dan pertanian/perkebunan. Kendati pun, data FAO (2000) menunjukkan bahwa jumlah tuna meningkat sebagai akibat “mendinginnya” suhu muka laut di sekitar Indonesia yang sangat kondusif bagi pertumbuhan plankton dan menjadi “kolam” ikan yang potensial.
Kekeringan di pihak yang lain juga memberikan “ruang” bagi petambak garam untuk menangguk panen yang berlebih. Walau pun di sektor kelautan, perubahan suhu di lautan berpotensi merusak terumbu karang yang ada.
Ketiga, sejarah dan juga catatan rinci perulangan El Nino ini menunjukkan bahwa tidak seluruh Indonesia terkena dampaknya. Catatan global menunjukkan bahwa Sumatera bagian Tengah dan Utara tidak terkena secara langsung dampak El Nino.
Beberapa wilayah Kalimantan demikian juga. Pada intensitas El Nino yang kuat, justru daerah Jawa, Bali, NTB dan NTT sangat terdampak. Demikian pula, Sulawesi bagian Selatan, Maluku dan sebagian Papua bagian Selatan.
Mencermati peta wilayah terdampak tersebut, dapat dilakukan mitigasi yang lebih efektif, efisien dan optimal. Di wilayah yang tidak terdampak, produksi dan manajemen distribusi logistik serta memasok kebutuhan daerah terdampak ditingkatkan. Sedangkan, pada wilayah terdampak dilakukan antisipasi untuk memitigasi resiko negatifnya di berbagai sektor.
Keempat, Indonesia beruntung, karena menjelang Oktober/Nopember angin monsun berbalik karena perputaran matahari. Angin ini mengimbas kelaziman datangnya musim hujan.
Sehingga kekeringan tidak berkepanjangan, meski El Nino akan menunda kedatangan awal musim hujan, tetapi awal musim hujan dapat dipastikan kehadirannya. Hal ini, selain meyakinkan bahwa kekeringan tidak berkepanjangan juga dapat mendorong perencanaan tanam dan pencarian alternatif antisipasi secara lebih terkelola.
Kelima, peristiwa El Nino sejak 1930-an menunjukkan juga kemunculan La Nina. Sebuah fenomena alam kebalikan El Nino. Dan, bagi Indonesia, berarti hujan berlebihan. Perulangan tersebut, menunjukkan pula bahwa El Nino terjadi dalam jangka pendek (4 – 5 bulan), sementara La Nina berjangka lebih panjang (12 bulan).
Jika demikian, maka saat El Nino tiba, juga menjadi papan start untuk membenahi drainase, saluran, kanal banjir dan juga penyiapan embung-embung atau sumur resapan manakala nanti “limpahan air” akan tiba. Tandon air yang berlimpah, dapat digunakan untuk menghadapi kemarau berikutnya.
“Saat Nabi Nuh menerima perintah untuk membangun kapal, dibutuhkan waktu lebih dari dua tahun bagi “alam” sebelum masuk pada pola hujan yang berlebihan. Kekeringan yang dimimpikan oleh teman sepenjara Nabi Yusuf, mengindikasikan kekeringan terjadi tujuh tahun ke depan. Jangan-jangan memang begitulah alam mengajar kita untuk menata-kelolakan perencanaan menghadapi fenomena alam melalui siklus yang berulang. Oleh karenanya, El Nino tidak usah membuat terkejut. Apalagi kecut. Antisipasi dan kesiagaan mendorong agar kita tidak kalut. Untuk itu, El Nino datang, siapa takut!,” tutup Andi.
(raw)


0 comments: