Sunday, November 29, 2015

Musim Hujan Datang, Banjirkah Jakarta?


MUSIM hujan datang, El Nino dan potensi kebakaran lahan dan hutan menghilang. Banjir menghadang. Banjirkah Jakarta memasuki musim hujan 2015/2016 ini. Banjir di Jakarta sering diasosiasikan dengan kejadian 5 tahun sekali. Pada kenyataannya dalam 10 tahun terakhir, banjir bisa terjadi kapan saja. Tidak berpola : 2002,2007,2013 dan 2014. Tetapi semuanya pada awal tahun.

Tulisan ini tidak membahas tentang dampak banjir di Ibukota, tetapi memberikan gambaran kecenderungan kejadian hujan beberapa tahun terakhir di Ibukota, dilihat dari sisi klimatologis ( sifat rerata cuaca jangka panjang ). Di dalam KBBI, jabaran banjir hanya disebut sebagai : “berair banyak dan deras, kadang meluap” Penjelasan yang “agak” lebih luas diperoleh dari wikipedia : “Peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan”. Paling tidak untuk Jakarta, kita mengenal banjir kiriman, yang airnya mengalir dari daerah pegunungan di sekitarnya disebabkan oleh hujan yang terjadi di wilayah tersebut.
Di Jakarta bisa juga terjadi banjir yang disebabkan terlampauinya “daya-tampung” permukaan Jakarta disebabkan oleh hujan berlebihan. Hujan merata yang terjadi dalam intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama, sedangkan “daya –serap” permukaan tanah di Jakarta tidak mampu untuk “menelannya”.

Genangan yang terjadi di berbagai lokasi “menambah” pasokan air sungai-sungai di sekitar Jakarta dan meluap. Banjir jenis ini sering dikategorikan flash flood (banjir kilat, banjir bandang).
Dari data pengamatan, BMKG mencatat bahwa rerata suhu di Jakarta memang cenderung naik, dari 27.3°C pada tahun 1976, naik menjadi 29.4°C pada tahun 2014. Suhu maksimum di Jakarta pada tahun 1976 adalah 31.4°C naik menjadi 34.5°C pada tahun 2014.

Dari data tersebut juga menarik, melihat selisih suhu maksimum dan reratanya ternyata juga semakin tinggi Kenaikan 1°C, memang tidak tinggi. Tetapi dilihat rerata dunia yang hanya 0.7°C dalam 100 tahun, dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu di jakarta melebihi rerata dunia.

Ini semua mengimbas pada pola curah hujan di Jakarta. Di 5 lokasi pengamatan di seluruh Jakarta, yaitu di Cengkareng, Karet, Kemayoran (Stasiun 745), Halim dan Tanjung Priokpada bulan Desember, Januari, Februari dan Maret, menunjukan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.

Puncak intensitas hujan terjadi pada bulan Januari dan Februari. Kemayoran (stasiun 745) dan Halim menunjukan intensitas curah hujan tertinggi di banding dengan 3 lokasi yang lain. Halim dan Kemayoran bisa menjadi representasi wilayah Jakarta Pusat dan Selatan. Sementara di Tanjung Priok, kenaikan intensitasnya pun tampak terlihat.

Trend menunjukan bahwa “tekanan” hujan di berbagai wilayah di Jakarta semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Ini menegaskan bahwa daya-serap permukaan tanah di Ibukota tidak cukup mampu untuk “menyerap” hujan yang intensitas-nya selalu menaik dan menjelaskan mengapa mudah sekali terjadi genangan di Jakarta.

Bagaimana “serangan” dari daerah “penyangga” di sekitar Jakarta? Menilik kecenderungan jumlah hari hujan di Citeko selama 30 tahun, kenaikannya juga signifikan. Betapapun fraksi hari hujan dengan intensitas tinggi tidak menunjukan kenaikan yang signifikan yang bermakna bahwa kenaikan frekwensi “banjir kiriman” tidak begitu tinggi.

Namun demikian, kecenderungan kenaikan hari-hari hujan di atas 20 mm/hari, cukup untuk “menjadi” peringatan dini bagi warga Jakarta yang menerima limpahan hujan tersebut.

Sangat disyukuri bahwa statistik jumlah korban meninggal akibat banjir di Jakarta berkurang dari tahun ke tahun. Data korban meninggal karena banjir dari BPBD DKI menunjukan penurunan yang nyata, dari 48 jiwa pada tahun 2007 dapat ditekan menjadi 6 orang pada tahun 2015.

Demikian pula melihat kesiapan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI. Mulai dari optimalisasi sistem peringatan dini, penyiapan komunikasi berantai dari sms hingga jejaring sosial, kesiagaan PUSDALOPS. Pengerukan sungai-sungai juga terlihat sigap. Bahkan lebih jauh, secara struktural, Pemda DKI pun telah bersiap dengan melebarkan “daya tampung aliran” dengan penataan bantaran sungai.

Dari laporan yang disampaikan pada beberapa pertemuan, BPBD dan pemda DKI telah mendorong “gerakan” biopori dan sumur resapan, serta memperdalam embung dan perbanyakan tandon air.

Sementara untuk menyerap genangan, pompa-pompa pun telah diaktifkan. Ini pun dilengkapi dengan kesiapan di sisi masyarakat.
Belajar dari tren gejala Klimatologis yang terjadi, Siswanto (2015) dalam kajian doktornya menegaskan bahwa Jakarta menghadapi tantangan meningkatnya intensitas curah hujan 2 (dua) kali lipat dibanding 100 tahun silam. Jika dalam data hujan di wilayah Puncak dan sekitarnya juga menunjukan kenaikan, sementara di Jakarta sendiri trend kenaikan curah hujan dapat terlihat nyata.

Persoalan ini akan bertambah saat pasang naik. Tampaknya, upaya Pemba DKI perlu terus didukung Karena banjir bukan hanya merupakan persoalan pemerintah daerah semata. Kesiapan dan kesiagaan pada sisi hulu dan hilir, struktur dan kultur, Pemda dan warga, merupakan kesatuan kekuatan ampuh untuk mengurangi tekanan dan ancaman banjir. ( adv )


Sumber : Indopos, 17 Nov 2015 Hal. 2


0 comments: