Monday, April 11, 2016

Paradigma Baru Diseminasi Peringatan Dini Bencana

Andi Eka Sakya
Majalan Sains Indonesia Vol. 51 Maret 2016 Hal. 81

Paris Agreement yang disepakati dalam COP21 merupakan sebuah terobosan. mengintegrasikan pandangan dunia terkait dengan dampak perubahan iklim. Sebelumnya, penekanan hanya dilakukan pada langkah mitigasi. Upaya mendorong langkah adaptasi terus terbentur oleh ketidak-sepakatan dari negara-negara maju. Demikian pula, loss and damage, capacity building dan awareness. Pada COP21, 193 negara sepakat mendukung upaya menahan laju meningkatnya suhu global 1.5odi atas era pra-industri, yaitu: mitigasi, adaptasi, ­loss and damage (kerugian dan kerusakan), capacity building (pengembangan kapasitas), dan peningkatan kesadaran melalui pelatihan, serta dukungan keuangan. Sejarah baru diciptakan. Langkah baru perlu dibentangkan. 
Gagasan memasukkan langkah adaptasi terformulasi sejak Cancun Adaptation Framework. Hal ini didukung oleh kenyataan proses kerusakan alam sebagai dampak perubahan iklim, ternyata jauh lebih dahsyat, lebih cepat dan semakin sering terjadi, dibanding dengan kecepatan upaya untuk menghambat laju konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). BNPB menunjukkan, 90% dari bencana yang terjadi dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh cuaca dan iklim (hidro-meteorologi). Langkah adaptasi dilakukan untuk mendorong masyarakat menyesuaikan diri terhadap perubahan alam yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim. To manage the unavoidable.
Indonesia sangat berkepentingan dengan langkah adaptasi. Sebagai negara kepulauan di katulistiwa dan sangat dipengaruhi oleh berbagai climate drivers, seperti: ENSO (El Nino Southern Oscillation) di Pasifik Timur dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Lautan Hindia. Belum lagi gangguan MJO (Madden-Julian Oscillation) yang berosilasi dari barat di Samudera Hindia ke timur di Samudera Pasifik.
Ada juga seruak di-ngin (cold surge) dari Tiongkok menyeberang ke selatan katulistiwa untuk “memaksa” intensitas hujan “sangat” deras, seperti halnya yang terjadi di Bangka (8 Februari 2016) dan Jabodetabek (14 Februari 2016). Gangguan dan gejala di atas, ditambah dengan pergeseran iklim memporak-porandakan keteraturan musim di Indonesia, menjadikan lengkap sudah “tekanan” dan kontribusi kerentanan bagi Indonesia terhadap dampak perubahan iklim.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) Bappenas (2014), adaptasi adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan suatu sistem terhadap dampak perubahan iklim. Langkah adaptasi di Indonesia diarahkan pada : (1) upaya penyesuaian dalam bentuk strategi, kebijakan, pengelolaan/manajemen, teknologi dan sikap agar dampak perubahan iklim dapat dikurangi seminimal mungkin, dan bahkan jika memungkinkan dapat memanfaatkan dan memaksimalkan dampak positifnya, dan (2) upaya mengurangi dampak (akibat) perubahan iklim, baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun diskontinu dan permanen serta dampak menurut tingkatnya.


Paradigma Baru
Konferensi Dunia Pengurangan Risiko Bencana (World Coinference on Disaster Risk Reduction - WCDRR) Maret 2015 membahas evaluasi menyeluruh upaya pengurangan risiko bencana. Kongres WCDRR Ke-3 ini mengadopsi Kerangka Pengurangan Risiko Bencana Sendai (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction - WCDRR) yang mencakup empat prioritas, yaitu : (1) pemahaman risiko bencana, (2) memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana; (3) investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketahanan; dan (4) meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif. Hal tersebut ditunjukan untuk "Building Back Better" - membangun kembali lebih baik - melalui proses pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta mendefinisikan kembali peran stakeholder,  kerja sama internasional dan kemitraan global. Kerangka Sendai sangat diapresiasi berbagai pihak.
Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization - WMO) menyadari dampak perubahan iklim dalam 10 tahun terahir di dominasi oleh bencana hidro-meteorologis. Kongres ke-17 (Juni 2015) itu secara khusus membahas Kerangka Sendai (SFDRR) dalam perspektif layanan informasi cuaca dan iklim. Forum sepakat untuk menggeser pemahaman layanan informasi dari sekedar memberikan prakiraan dan peringatan dini cuaca dan iklim,menjadi prakiraan berdasarkan dampak dan peringatan dini berdasarkan risiko (Impact based Forecasting and Risk based Warning - IFRW). Paradigma ini menyiratkan untuk mengurangi risiko bencana, produk prakiraan dan peringatan dini cuaca ekstrim tidak lagi mencukupi, tidak juga perlu disebarkan ke seluruh wilayah, serta harus memuat informasi baku agar mudah dipahami. Cakupan prakiraan dan peringatan dini bencana juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan sektor-sektor terkait (thematic field).
Learning process dari El Nino 2015 menguatkan urgensi IFRW sebagai paradigma baru. Saat sebagian wilayah Indonesia, terutama bagian selatan khatulistiwa, dilanda kebakaran hutan dan lahan, di bagian utara (Aceh, misalnya) dalanda banjir besar. Keduanya perlu dipilah dan melihat dampak risikonya. Demikian juga peringatan dini potensi bencana geologis. Gempa di Sumba Barat (12 Februari 2016) tentu tidak terasa di Aceh dan di Kalimantan. Maka, konsentrasi penyebaran informasinya pun tidak perlu disebar sampai di Aceh atau Kalimantan. Sering kesalahterimaan informasi justru menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Oleh karenanya, penyebaran informasi prakiraan dan peringatan dini berbasis IFRW menjadi jauh lebih efektif, efisien dan optimal.


Konsekuensi Penerapan
Untuk menerapkan paradigma baru tersebut, tidaklah mudah. Beberapa elemen informasi perlu diproses terlebih dahulu sebelum didiseminasikan. Itu pun, perlu dijamin bahwa produk informasi prakiraan atau peringatan dini tersebut dapat dipahami dan mengantar pada pembuatan keputusan yang benar. Oleh karenanya, dilihat dari perspektif langkah adaptasi paradigma IFRW setidaknya mencakup dua hal : (1) sistem peringatan dini yang handal, dan (2) pemahaman dan kesadaran iklim yang tinggi, atau jika diperluas menjadi potensi bencana: disaster literacy.
Sistem peringatan dini mensyaratkan penguatan infrastruktur teknologi dari pengamatan, pengolahan dan diseminasi. Proses dan diseminasi pengamatan perlu serba otomatis, terintegrasi dan berkesinambungan. Simulasi cuaca dan iklim secara numerik tidak bisa terhindarkan lagi, karena tuntutan kecepatan, banyak dan bervariasinya data (big data). Hasil pengamatan semua parameter diintegrasikan dan dipersiapkan dalam format baku tertentu, serta diasimilasi dengan data citra pengamatan inderaja (satelit) untuk dimanfaatkan sebagai masukan simulasi numerik, maupun untuk keperluan basis data.


0 comments: