WARTA KOTA, DEPOK - Indonesia melalui
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi tuan rumah lokakarya
perencanaan pelaksanaan Years of the Maritime Continent (YMC) 2017-2019 atau
Years of Maritime Continent Implementation Plan Workshop 2017-2019, yang
digelar mulai Selasa (24/11/2015) hingga Kamis (26/11/2015).
YMC
merupakan kerja sama riset dunia internasional untuk mempelajari interaksi laut
dan atmosfer di benua maritim dimana Indonesia adalah salah satu negara maritim
yang terbesar.
Ini
artinya Indonesia merupakan generator cuaca dunia, atau cuaca di Indonesia
sangat mempengaruhi cuaca dunia.
Karenanya
dengan lokakarya YMC yang diikuti 27 peserta dari 10 negara di dunia ini,
bertujuan memperbaiki prakiraan cuaca dan iklim di benua maritim termasuk
Indonesia.
Sebab
area dimana Indonesia berada yang tepat di jantung khatulistiwa inilah yang
akan mempengaruhi prakiraan cuaca di dunia.
Hal
itu dikatakan Kepala BMKG, Dr Andi Eka Sakya di sela-sela Years of Maritime
Continent Implementation Plan Workshop, di Kantor BMKG, Rabu (25/11/2015) di
Jakarta.
Menurut
Andi, kegiatan workshop YMC kali ini adalah yang kedua, dimana merupakan
kelanjutan YMC tahun sebelumnya di Singapura.
Yang
dibahas dalam YMC kali ini, katanya, mengenai implementation plan atau
implementasi rencana, berupa pengajuan proposal riset setiap peserta. Juga
termasuk rencana kerjasama antar negara secara internasional dan nasional.
"Kegiatan
ini sejalan dengan keinginan pemerintah supaya menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia. Dari sini kita tingkatkan pemahaman dan prakiraan terhadap
perubahan cuaca dan iklim di benua maritim, sekaligus mengetahui dampak
perubahan cuaca dan iklim secara global," kata Andi.
Andi
menjelaskan kegiatan yang merupakan inisiatif multilateral ini, akan
menggunakan peralatan observasi yang dimiliki Indonesia dan institusi dari
negara-negara mitra konsorsium YMC.
"Saat
ini tercatat ada 11 negara mitra konsorsium YMC," kata Andi.
Yakni
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Cina, Jepang, Jerman, Filipina, Singapura,
Perancis, Taiwan, dan Indonesia.
"Semuanya
akan berpartisipasi dengan melibatkan puluhan lembaga penelitian dan
universitas dari setiap negara," kata Andi.
Andi
menuturkan workshop ini diikuti 27 peserta dari 10 negara yang berasal dari
Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, Ukraina, Singapura, Filipina, Australia,
Jerman, dan Inggris.
BMKG
sendiri, kata Andi, mengikutsertakan lembaga penelitian dalam negeri mitra
BMKG, diantaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(Lapan), serta sejumlah universitas seperti ITB, IPB, Unsri, dan Unsoed.
"Indonesia
aktif dan andil dalam Kegiatan YMC ini, meningat Benua Maritim Indonesia (BMI)
merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Apalagi posisi cukup sentral dan
strategis, karena diapit oleh dua benua yakni Asia dan Australia, serta dua
samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain itu Indonesia
dilalui oleh garis khatulistiwa," kata Andi.
Posisi
tersebut, tambah Andi menjadikan Benua Maritim Indoensia, sebagai generator
cuaca untuk wilayah Belahan Bumi Utara dan Selatan.
"Sehingga
variasi cuaca di BMI memang cukup kompleks," katanya.
Namun
demikian, kompleksnya variasi cuaca di BMI, menjadi kendala dan membuat Global
Climate Model (GCM) serta Numerical Weather Prediction (NWP) di wilayah
Indonesia dianggap kurang maksimal untuk menggambarkan variabilitas cuaca dan
iklim yang ada.
"Ini
tidak menyurutkan BMKG dalam menjawab tantangan global tersebut. Karenanya
diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab tantangan tersebut," kata
Andi.
Andi
menuturkan dalam menjawab tantangan tersebut, BMKG mengkoordinasikan peneliti
nasional seperti, BPPT, KKP, LAPAN, LIPI, BIG, P3GL, Kemenristek Dikti,
Kemenkomar dan sejumlah universitas.
"Selain
itu bersama dengan peneliti asing dari 14 negara kita sudah melakukan kajian di
wilayah Marine Continent meliputi darat, laut dan udara," katanya.