Monday, September 5, 2011

Teknologi Mitigasi Perubahan Iklim

Dari aspek geologis dan meteorologis Indonesia rentan dari ancaman bencana alam. Contohnya adalah gempa di Manokwari awal 2009, kecelakaan transportasi laut di Majene dan daerah lain. Bahkan perubahan kondisi alam ini juga mengagetkan petambak Waduk Cirata, Jawa Barat. Suhu waduk secara ekstrem turun. Akibatnya banyak ikan mati mendadak.

Nasib murung petambak, disebabkan oleh pergeseran awal musim. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofiska (BMKG) mencatat secara rerata dalam 30 tahun terakhir, awal musim bergeser 1-2 dasarian (10 sd 20 hari). Maka mereka yang kepul asap dapurnya tergantung dari ketepatan awal musim, menerima dampak dari pergeseran ini.

Pergeseran musim dipicu pemanasan global yang disebabkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca melebihi daya dukung keseimbangan alam. Harga yang harus ditanggung akibat bencana sungguh dahsyat. Banjir selama lima hari di Jakarta, misalnya, secara ekonomis menimbulkan kerugian hampir mencapai 2 persen Produk Domestik Bruto. Infrastruktur rusak dan butuh biaya perbaikan miliaran rupiah.

Secara umum, laju pembangunan yang telah kita nikmati, mengalami perlambatan. Menghadapi musuh bersama pemanasan global, dalam pertemuan perubahan lklim ke-13 di Denpasar-Bali, disepakati secara konsisten melaksanakan Bali Road Map. Tujuannya mengerem tingkat emisi global hingga 25-40%, sesuai dengan AR4 IPCC, dalam 50 tahun mendatang.


Bali Road Map juga menyepakati langkah-langkah antisipatif pasca Tokyo Protocol 2012, yangsalah satunya mencari alternatif teknologi mitigatif yang dapat memberikan kontribusi dalam upaya penurunan emisi karbon. Luasnya spektrum kepentingan membuat sulit menyepakati langkah-langkah setelah 2012. Bahkan, di dalam pertemuan COP-14 di Poznan, penghujung 2008, persoalan itu masih belum secara jelas arah penyelesaiannya.

Tindakan mitigasi tersebut bagi negara-negara berkembang - termasuk Indonesia - dilakukan lewat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Implementasinya melalui pemanfaatan climate Friendly technology, melalui proses alih teknologi yang difasilitasi oleh mekanisme pendanaan internasional.

Namun, bagi negara berkembang, seperti Indonesia persoalannya, tidak semudah membalik tangan. Partisipasi aktif melakukan gerakan mitigasi terkendala bukan pada pendanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutannya, tetapi justru pada awal memulainya yaitu pada jenis pilihan dan proses alih-teknologinya.

Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kendala. Pertama, ketersediaan teknologi yang notabene berasal dari luar dan tentu saja memerlukan proses waktu adopsi dan adaptasi. Tidak setiap, teknologi mitigasi layak terap. Bagi Indonesia, misalnya, teknologi yang dipilih tersebut memerlukan proses tropikalisasi. Yakni penyesuaian teknologi terhadap, lokasi. Karena pada dasarnya karakteristik kondisinya berbeda dari negara asal.

Kedua, proses adopsi teknologi juga tidak mudah. Bagi teknologi yang non-disruptive, persoalan tersebut muncul pada strata perbedaan masyarakat penerima teknologi yang oleh Rogers (1962) disebut sebagai polapsikografik. Pola ini terbagi dalam lima kelompok masyarakat penerima (adopter) teknologi.

Kelompok pertama merupakan para inovator. Kelompok ini akan memperkaya jenis-jenis teknologi dasar yang teralihkan secara cepat. Kelompok yang juga disebut sebagai ujung pensil oleh McKeown (1990) ini berjumlah sangat kecil (2.5%). Kelompok kedua, dalam terminologi McKeown (1990) merupakan bagian pensil yang mudah diraut, adalah mereka yang mudah menerima teknologi baru (13.5%).

Kedua kelompok ini biasanya dari kalangan terdidik, hidup pada tingkat sosial yang tercukupi dan sebagiannya berupa orang-orang yang senang menghadapi risiko. Kelompok ketiga adalah mereka yang konservatif namun terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yang pada umumnya terdiri dari pemimpin informal, dan aktif di dalam masyarakat (late adopter). Mereka cenderung menunggu.

Dua kelompok sisanya terdiri dan late majority (34%) dan laggards (16%). Kelompok terakhir ini dicirikan oleh latar belakang pendidikan yang rendah dan tertinggal, sangat konservatif dan tertutup, bahkan sering tidaktersentuh dalam strata kemajuan dan tata-pergaulan masyarakat.

Waktu yang diperlukan bagi sebuah pilihan teknologi untuk diterapkan pada kegiatan pembangunan merupakan faktor ketiga yang perlu dijadikan pertimbangan dalam proses alih teknologi untuk mendukung gerakan mitigasi. Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi sebuah teknologi untuk bisa diterima dan diterapkan dalam kegiatan pembangunan sehari-hari. Belum lagi persoalan apakah jenis teknologi yang bersangkutan merupakan jenis teknologi yang memberikan kontribusi bagi upaya pengurangan emisi karbon.

Dalam konteks ini, diperlukan dua tahap evaluasi terhadap teknologi yang tersedia dan akan diterapkan. Pertama, evaluasi terhadap jenis teknologi yang layak terap. Dan, kedua, evaluasi jenis-jenis teknologi yang memang memberikan kontribusi bagi upaya pengereman laju peningkatan konsentrasi karbon.

Technology Clearing House (THC)

Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) maupun Dewan Riset Nasional (DRN) telah mengeluarkan kebijakan 6 prioritasi bidang dan kebijakan strategic nasional dalam bidang iptek. Implementasinya pun difasilitasi dengan berbagai bentuk insentif.

Namun, seperti sering dikeluhkan, belum banyak hasil-hasil penelitian dimanfaatkan dalam aktifitas pembangunan. Belum lagi memilih dan memilah hasil-hasil teknologi yang memberikan dukungan bagi upaya mitigasi. Pada sebuah lokakarya tentang mitigasi bencana, Juli 2008, Prof Emil Salim mengeluhkan tidak terrnanfaatkannya hasil-hasil penelitian untuk mendukung kebijakan pemerintah dikarenakan belum terciptanya hubungan antara aktivitas penelitian dan pengembangan dengan kebijakan pemerintah atau antar lembaga terkait.

Untuk itu, perlu ada hubungan antara litbang tiap departemen agar ilmu dan riser yang dihasilkan bisa dipakai pemerintah dalam menentukan kebijakan terutama dalam mitigasi menghadapi perubahan iklim.

Selanjutnya butuh upaya terlembaga dan terstruktur dalam rangka mempersiapkan kesemuanya: (i) jenis teknologi, (ii) arah pengembangan, (iii) besar skala pengembangan, (iv) road-map pengembangannya, dan (v) basis-data turunan teknologinya. Hal ini diperlukan agar bentuk teknologi yang terpilih lolos dari berbagai hambatan baik teknis maupun non-teknis, di hulu maupun hilirnya. Upaya ini tentu tidak bisa datang hanya pada tingkat individu.

Sebuah satuan khusus dipellukan untuk ditugasi menyediakan informasi terkait dengan ketersediaan jenis-jenis teknologi yang layak untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Seraya memberikan pelayanan satu atap untuk berbagai penjelasan terhadap teknologi tersebut, termasuk di dalamnya cara penerapannya, karakteristik kondisi yang dibutuhkan, kelebihan dan kekurangannya. Lembaga ini bisa pula menjadi forum bagi para pihak yang berkepentingan mengkaji dan mendiskusikan kebijakan untuk memacu pemanfaatannya, memperbarui pemanfaatan teknologi bersangkutan. Unit ini pula yang memberikan fasilitasi jaminan perlindungan bagi konsumen pemakainya.

Bukan mimpi untuk berharap unit ini bisa jadi seperti perusahaan bgC3 yang baru didirikan Bill Gate. Sebuah unit technology clearing house masa depan.

Read this paper.
Get This Paper

0 comments: