Andi Eka Sakya
Masa transisi yang
dikenal masa pancaroba pertanda hadirnya musim penghujan.
Hujan
mulai turun di wilayah Indonesia sejak beberapa hari lalu. Ucapan syukur atas
berkah turunnya air (hujan) di beberapa tempat khususnya di lokasi kebakaran
hutan dan lahan menjadi hal melegakan. Jumlah titik api di beberapa wilayah
juga mulai menunjukan penurunan, walaupun belum seluruhnya menghilang.
Kehadiran
musim penghujan kali ini sangat ditunggu banyak pihak, berbeda dengan tahun
lalu. El Nino yang memundurkan jadwal kehadirannya di Indonesia berimbas
menimbulkan kekeringan panjang di berbagai wilayah. Bahkan, beberapa daerah
menunjukan jumlah ‘hari tanpa hujan’ lebih dari 120 hari.
Situasi
ini tentu sangat meresahkan. Udara sangat kering dan air tanah tergerus.
Kandungan air tanah berkurang drastis bahkan tidak ada air sama sekali. Dan
yang lebih mengkhawatirkan rentan terhadap kebakaran hutan.
Menurut data yang dikeluarkan LAPAN, hutan dan lahan-lahan gambut yang terbakar mencapai 2
juta hektare. Sebayak 620.000 hektare di antaranya merupakan terbakarnya lahan
gambut di Kalimantan dan Sumatera. Sementara luas hutan terbakar mencapai 1,5
juta hektare, 38% diantaranya di Sumatera dan 33% di Kalimantan. Titik panas
tersebut mulai menghilang sejak memasuki akhir Oktober dan awal November.
Sedangkan fenomena El Nino yang terjadi masih akan diamati hingga April 2016
mendatang.
Wilayah
Indonesia rentan terhadap perubahan iklim/cuaca hal itu dikarenakan Indonesia
berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia
dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui
garis katulistiwa. Terdiri dari kepulauan yang membujur dari barat ke timur,
terdapat banyak selat dan teluk.
Sementara
posisi matahari telah “menyeberang” dari belahan Utara katulistiwa ke selatan
sejak akhir September. Pergeseran ini berimbas pula pada pola angin yang secara
perlahan mengubah domisili monsun Australia yang kering dengan angin Monsun
Asia yang lebih “basah”.
Karena
itu masa transisi yang dikenal masa pancaroba “menjemput” hadirnya musim
penghujan. Peluang hujan dengan intensitas “sangat rendah” menuju ke “rendah”
mulai terasa. Wilayah Indonesia yang terdampak oleh El Nino, yaitu Wilayah
selatan katulistiwa, mulai merasakan curahan air secara pelahan tetapi pasti.
Pergerakan
musim hujan semakin masif memasuki pertengahan November. Jakarta Bogor Depok
Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) akan merasakan intensitas puncak musim
penghujan pada Januari atau Februari. Sementara di wilayah lain, terutama di
sebelah timur Indonesia (NTB, NTT dan Papua bagian selatan), memasuki musim
penghujan pada akhir Desember.
Wilayah
Indonesia cukup luas, tidak dapat disamakan dengan wilayah Timor Leste atau
Singapura yang hanya mempunyai periodisasi musim tunggal. Perbedaan yang muncul
di Indonesia dapat mencapai 342 Zona Musim (ZOM), yang masing-masing mempunyai waktu
awal dan akhir musim penghujan dan kemarau akan berbeda antara daerah satu
dengan yang lain.
Berbeda
dengan 22 negara yang berada di benua Eropa. Indonesia merupakan Negara yang
mempunyai komplikasi prakiraan musim yang “diperberat” oleh kenyataan bahwa
Indonesia secara geografis diapit dua benua, dua samudera dan negara kepulauan
yang tepat di katulistiwa.
Angin
yang bergerak dari selatan akan melakukan manuver berbelok saat mendekati
katulistiwa, demikian pula sebaliknya. Bukan hanya karena di katulistiwa gaya
Koriolisnya menjadi nihil, tetapi juga karena secara rutin dan teratur.
Matahari pun berpindah posisi dari utara ke selatan dan sebaliknya. Itu sudah
menjadi fenomena alam.
Kemajuan
teknologi informasi dan komputerisasi memungkinkan untuk melakukan prediksi
secara numerik. Tetapi bagi Indonesia yang secara geografis sangat luas dan
terletak di wilayah konvektif yang sangat kuat, simulasi komputasi cuaca atau
iklim yang sifatnya global akan mendapatkan tantangan pada kondisi lokal.
Secara klimatologis sifat dan trend
keikliman dapat disama-ratakan mencapai 30 tahun, tetapi kondisi cuaca (untuk
mengartikan gejala pada jangka yang pendek) mensyaratkan pengamatan permukaan
dengan kerapatan yang tinggi untuk ground
through (rujukan data).
Dampak El Nino yang
Dahsyat
Dampak
El Nino yang sangat dahsyat dan memorak-porandakan 2 juta hektare hutan dan
lahan, berakibat menjadi kebulan asap yang “dirasakan” oleh hampir 43 warga
negara, menutup bandara, memaksa balik pesawat yang mendarat serta mengancam
puso dan gagal panen 200.000 hektare sawah tadah hujan.
Wilayah
Indonesia diapit oleh dua fenomena iklim ekstrem yang secara fenomena fisis
disebabkan oleh kenaikan suhu muka laut. Pertama, di Pasifik Ekuatorial yang
lazim dikenal sebagai ENSO (El Nino Southern
Osciallation) dengan gejalanya dikenal sebagai El Nino dan La Nina.
Pada
kejadian El Nino mengimbas kekeringan di sebagian wilayah di Indonesia,
sebaliknya La Nina menggelontorkan hujan di sebagian wilayah Indonesia. Kedua,
di Samudera Hindia yang di kenal sebagai Dipol Lautan Hindia – Moda Dipole (India Ocean Dipole – IOD). Seperti El Nino dan La Nina, untuk IOD,
dikenal IOD positif dan negatif. IOD positif membawa dampak kekeringan,
sementara negatif sebaliknya. Catatan peristiwa selama 50 tahun terakhir,
kejadian El Nino yang kuat, biasanya diikuti dengan kemunculan La Nina. Selang
waktu La Nina biasanya lebih lama dari peristiwa El Nino. Tentu demikian pula
dampak bagi Indonesia. Jika merujuk sejarah keterjadinya, dapat diindikasikan
peluang La Nina muncul pada tahun 2016, setelah El Nino 2015, berkisar 75%.
Indonesia
sering diasosiasikan sebagai benua maritim. Interaksi laut dan atmosfir di
Indonesia sangat signifikan pengaruhnya terhadap cuaca dan iklim dunia. Salah
satunya adalah fenomena MJO. Gerak pemampatan dan perenggangan udara yang
terjadi di wilayah Samudera Hindia dan secara bertahap menuju ke arah Pasifik.
Terlepas Dari kondisi IOD negative atau La Nina, gejala MJO ini juga mendorong
timbulnya hujan berlebihan di wilayah-wilayah yang dilaluinya. Analisis banjir
yang terjadi pada tahun 2013 di Jakarta, lebih banyak disebabkan oleh gejala
MJO ini dibanding dengan anomali yang lain.
Musim
kemarau mulai bergeser memasuki musim penghujan. Berkah air menutup hampir
semua halaman “masalah” kekeringan dan dampak El Nino. Namun demikian,
kewaspadaan tetap diperlukan agar curah hujan yang turun tidak justru
menimbulkan bencana dan penderitaan yang berkelanjutan.
Mulai
terhapus karena perpindahan lokasi matahari yang mengimbas pola gerak dan arah
angin. Uap air dari lautan China Selatan dan Samudera Hindia “didorong”
memasukikawasan Indonesia mengantar peralihan musim kemarau panjang menjadi
musim penghujan, walaupun potensi El Nino masih ada.
Penetapan
awal musim penghujan, tidak diputuskan sepihak. Prosedur penetapan awal musim
yang lazim dilakukan oleh Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO) melibka hampir semua stakeholders melalui mekanisme National Climate Outlook Forum (NCOF). Di
Indonesia, selain BMKG, melibatkan perguruan tinggi seperti Institusi Pertanian
Bogor (IPB) dan Institusi Teknologi Bandung (ITB). Dan, unsur Kementerian
Pertanian (Kementan) dari Direktorat Perlindungan Hortikultura dan Tanaman
Pangan, Balitbangtan, kemudian LAPAN serta BPPT. Pertemuan NCOF paling sedikit
dua kali bertemu untuk menetapkan awal musim hujan dan kemarau.
Secara
internal, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan teratur dan
rutin mengupulkan data hujan dari seluruh wilayah di Indonesia, mengolah dan
menyajikan sehingga dapat dikaji dan dievaluasi oleh NCOF. Kesepakatan itu
menjadi dasar penetapan awal musim, dan tentu akan menjelaskan bahwa Indonesia
mempunyai lebih dari 300 ZOM.
Awal
musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia diprakirakan dimulai pada
November dan Desember. Kondisi “normal”, awal musim hujan 2015-2016
diprakirakan mundur (83,5%), sama (14,4%) dan maju (2,1%). Wilayah Indonesia
yang sudah memasuki Musim Hujan sampai dengan Oktober 2015 meliputi wilayah
Aceh bagian Tengah, sebagian besar Sumatera Utara, Riau bagian Barat dan
Jayapura. Sifat Hujan selama Musim Hujan 2015-2016 di sebagian besar daerah
yaitu 207 ZOM (60.5%) diprakirakan Normal, dan 99 ZOM (28.9%) akan terjadi
Bawah Normal, sedangkan Atas Normal yaitu sebanyak 36 ZOM (10.5%).
Musim Penghujan Datang
perlu Antisipasi
Peralihan
musim kemarau ke musim penghujan ditandai dengan perubahan arah dan kecepatan
angin. Memasuki musim hujan, pumpunan awan banyak terjadi di wilayah selata
katulistiwa disebabkan angin berbelok dari utara ke arah tenggara saat mendekati
katulistiwa. Di belahan selatan, angin berbelok dari selatan kearah timur laut.
Proses perlambatan dan pertemuan keduanya menyebabkan terjadinya wilayah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). Dinamika awan yang muncul karena proses
konvektif pada wilayah ITCZ ini perlu diwaspadai terutama untuk penerbangan dan
pelayaran.
Pada
periode transisi, biasanya hujan turun dengan intensitas tinggi disertai dengan
petir atau angin yang kencang. Kondisi itu, akan menimbulkan potensi puting
beliung atau hujan es bahkan mengakibatkan pohon-pohon tumbang. Sehingga perlu
pengaturan pemangkasan pohon-pohon di jalan agar tidak membahayakan.
Datangnya
musim penghujan selain memberikan berkah tetapi juga perlu diwaspadai terutama
saat puncak musimnya. Untuk wilayah Jabodetabek, puncak penghujan terjadi pada
Januari atau Februari.
Catatan
peristiwa banjir di Jakarta, pada umumnya terjadi pada puncak penghujan akhir
Januari hingga pertengahan Februari. Wilayah Jabodetabek, menarik untuk dilihat
yang menjadi obyek penelitian Siswanto (2015) tentang pola hujan di Jakarta.
Dan, dipublikasikan bersama 31 artikel ilmiah pada 5 November 2015 yang lalu di
Bulletin of the American Meteorological
Society (BAMS).
Hasil
kajian Siswanto terhadap data hujan di Jabodetabek selama 115 Tahun menunjukan
peningkatan secara signifikan dan sukar terprediksi peluang terjadinya hujan
dengan intensitas yang tinggi dan frekwensi keterjadian di Jabodetabek.
Siswanto menyimpulkan bahwa peluang hujan turun secara ekstrem di Jakarta
meningkat dua kali lipat di banding 100 Tahun yang lalu.
Jika
potensi ancaman banjir ini digeneralisasi, langkah bijak mengantisipasi yaitu
melakukan persiapan disisa waktu menunggu puncak musim, antara lain :
pembersihan bantaran sungai, saluran air dan semua penghambat laju aliran.
Selanjutnya, untuk mengurangi beban derasnya aliran, perlu diupayakan menambah
kemampuan daya serap permukaan dengan membuat gerakan pembuatan embung, sumur
resapan dan biopori.
Andi Eka Sakya,
Diterbitkan : Koran Sindo, Edisi Rabu 18 November 2015, Hal. 2