MUSIM
hujan datang, El Nino dan potensi kebakaran lahan dan hutan menghilang. Banjir
menghadang. Banjirkah Jakarta memasuki musim hujan 2015/2016 ini. Banjir di
Jakarta sering diasosiasikan dengan kejadian 5 tahun sekali. Pada kenyataannya
dalam 10 tahun terakhir, banjir bisa terjadi kapan saja. Tidak berpola :
2002,2007,2013 dan 2014. Tetapi semuanya pada awal tahun.
Tulisan
ini tidak membahas tentang dampak banjir di Ibukota, tetapi memberikan gambaran
kecenderungan kejadian hujan beberapa tahun terakhir di Ibukota, dilihat dari
sisi klimatologis ( sifat rerata cuaca
jangka panjang ). Di dalam KBBI, jabaran banjir hanya disebut sebagai : “berair banyak dan deras, kadang meluap” Penjelasan
yang “agak” lebih luas diperoleh dari wikipedia : “Peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam
daratan”. Paling tidak untuk Jakarta, kita mengenal banjir kiriman, yang
airnya mengalir dari daerah pegunungan di sekitarnya disebabkan oleh hujan yang
terjadi di wilayah tersebut.
Di
Jakarta bisa juga terjadi banjir yang disebabkan terlampauinya “daya-tampung”
permukaan Jakarta disebabkan oleh hujan berlebihan. Hujan merata yang terjadi
dalam intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama, sedangkan “daya –serap”
permukaan tanah di Jakarta tidak mampu untuk “menelannya”.
Genangan
yang terjadi di berbagai lokasi “menambah” pasokan air sungai-sungai di sekitar
Jakarta dan meluap. Banjir jenis ini sering dikategorikan flash flood (banjir kilat, banjir bandang).
Dari
data pengamatan, BMKG mencatat bahwa rerata suhu di Jakarta memang cenderung
naik, dari 27.3°C pada tahun 1976,
naik menjadi 29.4°C pada tahun 2014.
Suhu maksimum di Jakarta pada tahun 1976 adalah 31.4°C
naik menjadi 34.5°C pada tahun 2014.
Dari
data tersebut juga menarik, melihat selisih suhu maksimum dan reratanya
ternyata juga semakin tinggi Kenaikan 1°C, memang tidak
tinggi. Tetapi dilihat rerata dunia yang hanya 0.7°C
dalam 100 tahun, dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu di jakarta melebihi
rerata dunia.
Ini
semua mengimbas pada pola curah hujan di Jakarta. Di 5 lokasi pengamatan di
seluruh Jakarta, yaitu di Cengkareng, Karet, Kemayoran (Stasiun 745), Halim dan
Tanjung Priokpada bulan Desember, Januari, Februari dan Maret, menunjukan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Puncak
intensitas hujan terjadi pada bulan Januari dan Februari. Kemayoran (stasiun
745) dan Halim menunjukan intensitas curah hujan tertinggi di banding dengan 3
lokasi yang lain. Halim dan Kemayoran bisa menjadi representasi wilayah Jakarta
Pusat dan Selatan. Sementara di Tanjung Priok, kenaikan intensitasnya pun
tampak terlihat.
Trend
menunjukan bahwa “tekanan” hujan di berbagai wilayah di Jakarta semakin
meningkat dalam 5 tahun terakhir. Ini menegaskan bahwa daya-serap permukaan
tanah di Ibukota tidak cukup mampu untuk “menyerap” hujan yang intensitas-nya
selalu menaik dan menjelaskan mengapa mudah sekali terjadi genangan di Jakarta.
Bagaimana
“serangan” dari daerah “penyangga” di sekitar Jakarta? Menilik kecenderungan
jumlah hari hujan di Citeko selama 30 tahun, kenaikannya juga signifikan.
Betapapun fraksi hari hujan dengan intensitas tinggi tidak menunjukan kenaikan
yang signifikan yang bermakna bahwa kenaikan frekwensi “banjir kiriman” tidak
begitu tinggi.
Namun
demikian, kecenderungan kenaikan hari-hari hujan di atas 20 mm/hari, cukup
untuk “menjadi” peringatan dini bagi warga Jakarta yang menerima limpahan hujan
tersebut.
Sangat
disyukuri bahwa statistik jumlah korban meninggal akibat banjir di Jakarta
berkurang dari tahun ke tahun. Data korban meninggal karena banjir dari BPBD
DKI menunjukan penurunan yang nyata, dari 48 jiwa pada tahun 2007 dapat ditekan
menjadi 6 orang pada tahun 2015.
Demikian
pula melihat kesiapan yang telah dilakukan oleh Pemda DKI. Mulai dari optimalisasi
sistem peringatan dini, penyiapan komunikasi berantai dari sms hingga jejaring
sosial, kesiagaan PUSDALOPS. Pengerukan sungai-sungai juga terlihat sigap.
Bahkan lebih jauh, secara struktural, Pemda DKI pun telah bersiap dengan
melebarkan “daya tampung aliran” dengan penataan bantaran sungai.
Dari
laporan yang disampaikan pada beberapa pertemuan, BPBD dan pemda DKI telah
mendorong “gerakan” biopori dan sumur resapan, serta memperdalam embung dan
perbanyakan tandon air.
Sementara
untuk menyerap genangan, pompa-pompa pun telah diaktifkan. Ini pun dilengkapi
dengan kesiapan di sisi masyarakat.
Belajar
dari tren gejala Klimatologis yang
terjadi, Siswanto (2015) dalam kajian doktornya menegaskan bahwa Jakarta
menghadapi tantangan meningkatnya intensitas curah hujan 2 (dua) kali lipat
dibanding 100 tahun silam. Jika dalam data hujan di wilayah Puncak dan
sekitarnya juga menunjukan kenaikan, sementara di Jakarta sendiri trend
kenaikan curah hujan dapat terlihat nyata.
Persoalan
ini akan bertambah saat pasang naik. Tampaknya, upaya Pemba DKI perlu terus
didukung Karena banjir bukan hanya merupakan persoalan pemerintah daerah
semata. Kesiapan dan kesiagaan pada sisi hulu dan hilir, struktur dan kultur,
Pemda dan warga, merupakan kesatuan kekuatan ampuh untuk mengurangi tekanan dan
ancaman banjir. ( adv )
Sumber : Indopos, 17 Nov 2015 Hal. 2
0 comments:
Post a Comment